Selasa, 24 Maret 2009

Tantangan Aktifis Masuk Parlemen

Arena pemilu 2009 akan betul-betul menarik. Ada 38 partai politik yang akan turut berkompetisi merebut dukungan rakyat. Dan yang menarik adalah keterlibatan sejumlah aktifis mahasiswa, ataupun gerakan sosial-radikal dalam pertarungan pemilu 2009. Ada Dita Indah Sari dari Papernas yang tergabung dalam PBR, ada Budiman Sudjatmiko dari PDIP, ada Aan Rusdianto dan Faizal Resa di PKB, Pius Lustrilanang di Gerindra, Anas Urbaningrum di Demokrat, Fadli Zon di Hanura, Rama Pratama di PKS, dan masih begitu banyak yang lain. Keterlibatan sejumlah aktifis dalam pertarungan pemilu 2009 kemudian dianggap menarik, jikalau tidak dipandang “ aneh” sejumlah kalangan. Karena keputusan sejumlah aktifis berkompetisi dalam pemilu dan tergabung dalam partai politik dianggap Rata Penuhtelah melanggar sebuah “koridor” umum, yang seolah sudah menjadi hukum tak tertulis, bahwa aktifis harus menjaga kemurnian idealismenya dengan tetap berada dijalanan.


Problem Gerakan Sosial-radikal di Indonesia
Aktifis terlibat dalam gerakan politik, dan bahkan berpartisipasi dalam parlemen merupakan hal yang sah, dan malahan menjadi wajib dimasa-masa tertentu. Dalam sejarah pergerakan di Indonesia, metode parlementer bukan hal yang baru. Pada masa pergerakan melawan kolonialisme, tepatnya Desember 1916, aktifis pergerakan masuk dalam Volksraad (parlemen boneka Belanda). Beberapa organisasi seperti BO (Boedi Oetomo), Insulinde, dan CSI (Central Serikat Islam) menyatakan berpartisipasi dalam Volksraad, dengan alasan parlementer memiliki kekebalan berhadapan dengan pemerintah kolonial, sehingga memudahkan dalam mengkampanyekan kepentingan rakyat hindia-belanda.

Pada tahun 1950, seiring dengan pengaruh demokrasi parlementer, dilaksanakan pemilihan umum yang pertama tahun 1955, yang disebut oleh sejumlah analis politik sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Gerakan mahasiswa dengan memegang teguh ideologi perjuangan dan platform politik menyatakan berafilisasi dengan partai yang memiliki garis ideologi dan politik yang sama. Seperti HMI yang berafilisasi ke Masyumi, PMII berafiliasi ke NU, GMNI berafiliasi ke PNI, CGMI berafiliasi ke PKI, GMKI berafiliasi dengan PARKINDO, dan Germasos berafiliasi kedalam tubuh PSI. kehidupan politik pada masa itu begitu sehat, politik aliran (ideologi) muncul dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk kampus.

Perkembangan positif ini justru dihancurkan oleh kediktaroran Orde Baru kemudian, yang menghancurkan gerakan politik-radikal dan membubarkan ormas-ormasnya. Orde baru menerapkan system floating mass (massa mengambang), yang melarang rakyat terlibat dalam kehidupan politik. Dimulailah era depolitisasi dan deideologisasi terhadap rakyat, termasuk gerakan mahasiswa. Di Mahasiswa sendiri berkembang sebuah prinsip gerakan yang disebut moral force (gerakan moral), yang memposisikan gerakan mahasiswa sekedar gerakan koreksi. Gerakan mahasiswa hanya bertindak sebagai pemicu sekaligus menjebol kebuntuan politik, setelah itu mahasiswa kembali kekampus, dan tongkat estafek diserahkan kepada politisi dan partai. Inilah fase dimana gerakan mahasiswa dan gerakan sosial-radikal diasingkan dari kehidupan politik, termasuk parlemen.

Tantangan Sebenarnya Bagi Aktifis yang Masuk Parlemen
Sudah lama partai politik kehilangan kepercayaan dimata rakyat. Terlebih sekarang, ketika beban ekonomi, kesulitan hidup, tekanan/kekerasan politik, diskriminasi terjadi dimana-mana, partai politik sibuk dengan pembagian kekuasaan dan korupsi. Bahkan, ada pengurus partai dan politisi di parlemen terlibat skandal seks yang memalukan. Itulah tangangan pertama dari aktifis yang terjun keparlemen sekarang ini; merubah pandangan negatif lembaga parlemen menjadi berwatak kerakyatan.

Kedua, persoalan utama partai politik dan hal ini menjadi hal umum dikalangan partai politik adalah ketiadaan atau kekosongan ideologi. Partai politik dan pengurus partai tidak punya pegangan ideologi sebagai penuntun arah dan langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Kehadiran aktifis harus menawarkan (menginjeksi) ideologi pergerakan kedalam partai. Ini tidak mudah, sehingga diperlukan pewadahan terhadap aktifis ini. Harus ada kontrak politik, harus ada control dari kekuatan organisasi dan unsure serikat buruh, tani, miskin kota, perempuan, NGO, dan lain-lain. Sehingga tidak boleh lagi aktifis sekedar menyerahkan diri bulat-bulat kedalam partai, tetapi harus disertai agenda perjuangan dan komitmen politik yang konkret.

Ketiga, mereka para aktifis harus melahirkan tradisi baru dalam berpolitik dan berpartai, termasuk merombak tradisi di parlemen. Tradisi ini memungkinkan dibangun, secara perlahan-lahan, dengan membangun semacam kaukus aktifis pergerakan lintas partai di parlemen. Tentunya dengan membuatkan ikatan platform, berupa program perjuangan yang sifatnya strategis sebagai jalan keluar penderitaan rakyat.

Penulis adalah aktifis Mahasiswa, Pengurus Eknas Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Pengurus DPP Papernas, Pengurus redaksi BERDIKARI online.

Senin, 26 Januari 2009

Politik dan Ideologi

Pemasaran Politik dan Kontestasi Ideologi

Hampir setiap jam, dalam ruang-ruang publik yang telah dikuasai media massa, iklan-iklan politik datang bergantian dengan iklam produk komersil. Hebatnya, iklan-iklan ini diyakini akan menyulap dukungan, ibarat iklan produk meraih kepercayaan seorang konsumen. Iklan politik semakin menggila takkala berbagai lembaga survey dan pemeringkat menyambut fenomena ini, dengan menciptakan grafik yang menggambarkan korelasi antara iklan politik, popularitas, dan peningkatan basis dukungan. Tak heran, dana yang digelontorkan partai ke iklan politik jauh lebih tinggi, misalnya, dibandingkan dengan dana operasional untuk membuat terbitan, booklet, ataupun material-material literer lainnya.


Demokrasi Liberal dan Pemasaran Politik

Dalam beberapa tahun terakhir, kosakata “liberal” makin akrab di telinga kita. Diskursus dan debat-debat mengenai sistim demokrasi menganut istilah “demokrasi liberal” untuk menjelaskan satu kutub dalam sistim demokrasi. Demokrasi liberal, meminjam pengertian Andrés Pérez Baltodano, merupakan sebuah kerangka atau mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk menfasilitasi kepentingan segelintir elit (korporasi dan oligarki) dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal.

selain itu, di bawah neoliberalisme, sistim demokrasi juga mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi layaknya di pasar untuk memperdagangkan produk mereka, dimana rakyat diubah menjadi konsumen pasif yang harus tunduk pada hukum pasar. Sejak tahun 1980-an, seiring dengan ekspansi neoliberal, dikenal istilah “pemasaran politik”, yakni kegiatan promosi guna menjual produk politik (political product). Dalam pemasaran politik , ada tiga hal yang dijual (baca; produk politik) yakni partai, kandidat, dan kebijakan (janji-janji politik). Pemasaran produk politik berjalan integral dengan aktifitas akumulasi profit; seorang kandidat akan menyerahkan sejumlah besar dana untuk pemasaran politik melalui saluran iklan politik (TV, radio, Koran, website, ponsel, dll), ataupun pembuatan/ mencetak poster, kartu nama, spanduk, baliho, dan sebagainya.

Di Indonesia, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dan potensi viewers-nya berkisar 118 juta orang penduduk (Jurnal Sosial Demokrasi, edisi juli-september 2008). Tentu ini pasar yang menggiurkan bagi penjual produk politik. Tidak heran, seperti yang disebutkan dalam survey AC Nielsen, bahwa ada korelasi antara peningkatan belanja iklan dan peningkatan popularitas dan mengalirnya dukungan terhadap partai. Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.

Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).

Dengan belaja politik yang tinggi, mustahil seorang tukang becak dapat menjadi presiden. Kompetisi yang berbasiskan modal (capital), tentu tidak akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok sosial, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk terlibat kontestasi politik. Padahal, secara teoritik politik merupakan arena bagi semua kelompok atau sektor sosial untuk memperjuangkan kepentingannya.

Kontestasi Ideologi

Di sisi lain, perkembangan demokrasi liberal dengan metode pemasaran politiknya tentu saja akan semakin memperkecil arena kontestasi ideologi, yang pada akhirnya akan menghilangkannya. Kontestasi ideologi tercermin pada debat soal program, visi, cita-cita perjuangan. Hal ini akan mendorong kristalisasi ide-ide kelompok masyarakat tentang cita-cita kolektif, yang tentu saja harus diperjuangkan dalam arena politik dan arena manapun; ekonomi dan budaya.

Di Indonesia, proyek depolitisasi era orde baru benar-benar menghapus partisipasi rakyat dalam politik, dan pada saat bersamaan menciptakan penyeragaman ideologi pada level politik.

Paska reformasi, yang ditandai dengan opensif neoliberal yang makin menggila, proses depolitisasi dijalankan pada tingkat institusionalisasi sistim demokrasi yang hanya membuka pintu bagi pemegang capital (modal), dan menutup pintu bagi partisipasi politik rakyat.

Dalam demokrasi liberal, tentu dengan metode pemasaran politiknya, sebuah partai atau politisi berusaha keras memunculkan “brand image” di mata konstituen, persis seperti pola korporasi menciptakan brand produk kepada konsumennya. Soal isi (program, visi, dan cita-cita) tidak menjadi penting, yang paling penting adalah bagaimana iklan ini menyentuh hati dan tersimpan dalam memori rakyat, setidaknya hingga pemilu.

Transformasi ini juga mengakhiri era ideologisasi di dalam partai; bentuk-bentuk pendidikan dan kursus kader mulai ditinggalkan. Partai disibukkan dengan kerja-kerja praktis untuk memenangkan pemasaran kandidat, dan lupa untuk memperkuat infrastruktur partai.

Rabu, 21 Januari 2009

Jeritan Anak Palestina

Jeritan Anak Palestina

air mata kering di sumurnya
tergadai ulu jiwa
kata-kata kehilangan makna
seruan tak berbekas
dunia tertinggal

Pemusnah mencabut apa saja
di jalan di gedung di terowongan
hanya Allah labuhan derita

Wahai derita
hanya itukah milik kita?

Bukan Saatnya Bersandar Pada Momentum

Bukan Saatnya Bersandar Pada Momentum

Proses kejatuhan Soeharto adalah saat-saat revolusioner dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa kota sampai bisa menguasai Instansi-instansi pemerintah. Dengan tuntutan reformasi berupa : pergantian presiden, pengadilan Soeharto dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Bahkan pada tanggal 19-21 Mei, ribuan mahasiswa di Jakarta sudah menguasai Gedung DPR/MPR menuntut agar Soeharto mundur. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa yang tersebar di berbagai kota. Komite-komite ini-lah yang mampu menggerakan ribuan mahasiswa untuk terlibat dalam aksi-aksi menuntut perubahan.

Namun setelah berhasil menggulingkan Soeharto, secara kualitas dan kuantitas gerakan mahasiswa mengalami penurunan. Gerakan mahasiswa kembali bangkit mendekati momentum Sidang Istimewa MPR, pada pertengahan bulan Nopember. Tepatnya pada tanggal 13-14 Nopember 1998. Aksi-aksi besar-besaran terjadi di Jakarta, sekitar satu juta mahasiswa berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Kemudian, melakukan rally ke gedung DPR/MPR, sampai kemudian meletuslah insiden Semanggi yang mampu menyeret solidaritas mahasiswa di berbagai kota.

Kemudian sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati. Bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan manis oleh gerakan mahasiswa. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus, aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota. Namun relatif hanya gerakan mahasiswa di Jakarta yang mampu mempertahankan resistensinya dengan penolakannya terhadap RUU-PKB sampai SU MPR. Kota-kota lain tidak menunjukan resistensi yang kuat dengan dukungan mobilisasi yang kuat pula.

Pasang surut gerakan mahasiswa, yang termanifestasi dalam aksi-aksinya, terlihat sekali bahwa hampir setiap organisasi perlawanan mahasiswa di berbagai kota, selama ini sangat bergantung pada momentum politik yang ada. Setiap ada momentum biasanya gerakan akan membesar, namun ketika tidak ada momentum maka gerakan akan kembali mengecil. Momentum memang sangat membantu dalam memobilisir perlawanan mahasiswa. Namun ketergantungan terhadap momentum yang ada hanya akan membuat gerakan menjadi statis dan mandeg. Hal ini tentu akan menghambat tercapainya perjuangan dalam gerakan mahasiswa.

Kemandegan ini disebabkan adalah kesalahan cara pandang gerakan dalam menempatkan prioritas kerja organisasi. Roda gerak sebuah organisasi haruslah meletakkan prioritas utamanya pada pembangunan basis. Seluruh aktifitas, baik aktifitas sekretariat dan aktifitas panggung lainnya (diskusi besar/kecil dan bahkan aksi-aksi massa yang dilakukan) harus juga dimaknai sebagai pembangunan basis. Apabila pembangunan basis tidak dilakukan maka organisasi mudah sekali menjadi elitis, jauh dari massa, akibatnya adalah kesulitan mobilisasi dan jelas dampak paling buruk akan mudah mengalami kemandekan. Pembangunan basis adalah perwujudan konkret dari kepemimpinan dalam suatu wilayah kampus. Keberhasilan pembangunan basis diukur dari ke berhasilan struktur mobilisasi kita yang konkret. Yang tidak bergantung pada momentum politik saja. Akan tetapi bisa melakukan mobilisasi kapan saja dengan kesadaran penuh dari anggota-anggotanya.

Suatu wilayah basis akan berdiri pada saat kehadiran kita di suatu kampus memegang peranan yang menentukan dalam menetapkan arah dan tujuan kedepan. Konkretnya bahwa organisasi-organisasi atau aliansi-aliansi berupa komite, solidaritas ataupun kelompok studi yang didirikan maupun organisasi-organisasi formal kampus seperti Senat, BEM, Pers Mahasiswa, UKM ada di bawah kepemimpinan langsung kita. Kepemimpinan langsung dijamin melalui kelompok inti kita yang memegang dan memiliki posisi berpengaruh dalam tubuh organisasi-organisasi yang ada. Dengan penguasaan tersebut, maka akan memudahkan struktur mobilisasi massa.

Lebih lanjut, berikut adalah langkah-langkah dalam mengorganisir untuk penguasaan kampus.

Sebelum melakukan investigasi sosial terhadap satu kampus, kita harus terlebih dulu menentukan prioritas kampus dalam satu wilayah berdasarkan geo-politiknya untuk diorganisir. Dalam jumlah tenaga organiser yang masih sedikit tentu tidak semua kampus akan kita garap, terutama pada kota-kota yang memiliki banyak universitas. Prioritas kampus dipilih berdasarkan kampus-kampus yang bergolak, dan maju tidaknya (radikal/moderat) program tuntutannya.

Setelah menentukan prioritas kampus maka langkah kita selanjutnya untuk membangun basis dalam satu kampus. Langkah pertama adalah melakukan investigasi terhadap kondisi ekonomi-politik kampus:

Ciri Umum Mahasiswa

Informasi paling penting yang harus betul-betul dipahami oleh para organiser adalah asal-usul kelas dan latar belakang ekonomi para mahasiswa. Analisis demikian kurang lebih bakal memungkinkan kita para organiser, memeriksa secara umum kepentingan-kepentingan dan sikap-sikap sosial mereka. Misalnya para mahasiswa yang berasal dari kelas atas pada umumnya lebih sulit untuk menyerap issu-issu sosial dibanding mereka yang berasal dari kalangan klas menengah dan klas bawah yang secara mudah bisa dan biasa merasakan kesulitan ekonomi.

Analisis berikutnya, yang harus diselidiki oleh para organiser adalah tingkat melek-politik para mahasiswa. Tingkat kesadaran politik dari mereka yang berada biasanya lebih rendah atau kurang, terlibat dalam persoalan-persoalan sosial yang tidak secara langsung mereka merasakannya dan tidak secara langsung menerima dampaknya. Di pihak lain, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin pada umumnya lebih gampang menyerap persoalan-persoalan rakyat.

Sekalipun demikian, hal ini tentu saja tidak berarti harus kaku, bahwa mahasiswa-mahasiswa kaya tidak akan pernah terlibat dalam aksi-aksi politik, atau sebaliknya, mahasiswa-mahasiswa miskin dapat juga bersikap apatis atau bahkan memusuhi aksi-aksi politik.

Kemudian para organiser juga harus sadar dan awas terhadap bermacam-macam organisasi yang sudah ada. Keanggotaannya, pengaruhnya, fungsinya dan orientasinya. Hal ini akan memberikan jalan bagi organiser bagaimana kita akan berhubungan dan bergaul dengan mereka. Hal ini penting karena hanya dengan mengetahui kekuatan organisasi tersebut kita akan dapat menentukan garis politik kita terhadap mereka

Pejabat-Pejabat Universitas dan Fakultas

Soal lain yang penting yang harus dipertimbangkan oleh para organiser adalah pejabat Universitas atau Fakultas. Seorang organiser harus bisa menilainya dalam kerangka mencapai tujuan, keinginan dan orientasi yang dicita-citakan oleh organisasi kita.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan di antara mereka (para pejabat tersebut), tokoh-tokoh kunci yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan universitas atau Fakultas. Status ekonominya harus didapatkan sehingga kita akan memperoleh ide dan penilaian mengenai pandangan maupun sikap politik mereka.

Persepsi dan analisis kita terhadap para pejabat akan kita masukan kedalam klasifikasi yang sudah kita buat sesuai dengan tujuan dan orientasi organisasi kita, yakni : (a) terbuka, (b) Represif atau menindas (c) Simpati, (d)Terang-terangan mendukung. Apabila mungkin kita perlu juga harus mengamati pengalaman-pengalaman organisasi lain yang berhadapan dengan para pejabat ini.

Mengenai Issu

Pemahaman yang tajam dan jelas terhadap persoalan-persoalan yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan mahasiswa merupakan faktor kunci untuk keberhasilan mengorganisir. Dalam konteks kampus atau Universitas, persoalan-persoalan yang ada dapat digolongkan kedalam dua bentuk pokok, yaitu issu lokal dan issu nasional. Issu lokal adalah issu-issu yang berdampak langsung pada mahasiswa. Contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya. Sedangkan issu nasional adalah issu-issu jangka panjang dan belum menjadi perhatian yang mendesak bagi para mahasiswa.

Walaupun demikian, tidak ada pemisahan yang tegas antara dua jenis issu tersebut. Tambahan lagi, tidaklah mutlak issu-issu lokal atau kampus memperoleh perhatian penuh dari kalangan mahasiswa. Tergantung pada kondisi, issu-issu nasional bisa dipilih sebagai persoalan yang dipropagandakan.

Hal yang amat pokok dan penting bagi organiser adalah menemukan atau menunjukan issu-issu yang memang secara signifikan penting buat mahasiswa. Secara akurat tepat harus dirumuskan apa yang menjadi hari ini dan yang kemudian akan menjadi jalan dalam usaha mengorganisir. Dengan mengetahui dan menguasai jalan keluar persoalan tersebut (issu-issu tersebut), maka seorang organiser akan mudah memenangkan simpati dan dukungan dari mahasiswa-mahasiswa yang antusias

Mencari Kontak (Building Contact)

Langkah berikutnya adalah membangun kontak dengan orang-orang yang terpercaya dan bertanggungjawab yang akan membantu kita dalam proses rekruitmen. Orang-orang yang paling bisa didekati adalah teman-teman sendiri atau teman-teman satu kelas, satu angkatan atau satu jurusan. Kontak-kontak lain yang mungkin dan berharap adalah perorangan-perorangan yang secara akademis intelektual terkenal. Mereka ini orang-orang yang mempunyai kredibilitas dan mudah mempengaruhi orang lain. Orang-orang semacam ini biasa nya menduduki posisi strategis dalam unit-unit kegiatan mahasiswa, seperti pers mahasiswa, senat, teater dll. Keterlibatan orang-orang semacam ini dapat memberikan kemudahan dalam mendapatkan kontak-kontak baru.

Para Pengurus dan anggota yang berpengaruh dalam organisasi yang sudah ada juga merupakan kontak yang baik. Posisi mereka akan memungkinkannya dapat menyentuh massa mahasiswa dalam skala lebih luas.

Setelah memilih beberapa kontak yang mungkin, haruslah ada serangkaian konsultasi dengan mereka. Konsultasi ini membahas kebutuhan membentuk organisasi, memperjelas pertanyaan-pertanyaan mereka dan tingkat janji serta tanggung jawab (komitmen) mereka dalam tugas organisasi. Lebih jauh para organiser harus terus melakukan evaluasi terhadap kontak-kontaknya, antara lain mencatat sikap-sikap, kepentingan-kepentingan dan juga persoalan-persoalan mereka.

Setelah memperoleh persetujuan mereka, kita harus membagi rencana-rencana kita secara rinci. Kita harus mendengarkan saran-saran dan komentar-komentar serta harus mendiskusikan bersama mereka apa yang akan menjadi gaya kita dalam tata cara rekruitmen yang efektif.

Pembangunan Wadah

a. Dimulai dengan Kelompok Diskusi

Kelompok Diskusi (KD) merupakan wadah bagi mahasiswa untuk secara rutin dan sistematis mengenal dan mempelajari teori-teori maju, situasi nasional, problematika masyarakat, organisasi dan banyak lagi. Organisasi juga akan mampu melihat dan memilih mahasiswa yang maju, kemudian melakukan rekruitmen anggota. Dalam situasi sekarang, yang memungkinkan propaganda teori maju dilakukan lebih leluasa, sekaligus masih kuatnya kesadaran perlawanan (sisa beruntunnya momentum lalu), akan mempermudah pembentukkan sebuah KD. Semua kampus menjadi target terbentuknya KD, hingga ke fakultas dst. Tidak lagi ada penghalang bagi terbentuknya KD dan aktifitas diskusi apapun. Kepemimpinan kita atas KD-KD itulah yang menjamin bahwa semuanya tidak akan sekedar menjadi kelompok elitis dan sekedar tukang bicara. Akan tetapi terdapat pembagian kerja yang konkret untuk aktivitas KD. Sehingga sekaranglah saatnya setiap organisasi mahasiswa menerjunkan organiserrnya demi mendirikan KD.

Pengorganisiran dengan membentuk KD, dengan prespektif penguasaan kampus ini bisa dibagi dalam dua (2) macam KD, yaitu KD Universitas dan KD Fakultas. Keduanya jangan dipahami hanya sebatas pembedaan teritori.

1. KD Universitas (KDU) mempunyai fungsi:

- Melakukan pengorganisiran terbuka di tingkat universitas

- Mobilisasi mahasiswa satu kampus untuk terlibat diskusi. Sehingga setiap diskusinya harus dioranisir dengan pengumuman dan undangan semaksimal seluruh mahasiswa tahu dan tertarik.

- Menjadi alat guna membuka kontak di fakultas yang belum ada kelompok diskusi fakultas (KDF)

- Bukan sebagai embrio organisasi tingkat kampus, tapi lebih sebagai jalan bagi pelibatan sebanyak mungkin mahasiswa untuk berkumpul dan berdiskusi. Terutama mahasiswa yang belum terwadahi dalam KDF.

- Melakukan seruan-seruan bagi setiap mahasiswa untuk mendirikan KDF di fakultasnya masing-masing.

- Menjadi alat bagi kawan yang ditempatkan di KDU untuk mencari mahasiswa maju demi rekruitmen organisasi. Dan bersama organiser kita, kawan maju baru ini akan terlibat dalam mendirikan KDF.

- Berperan penting untuk menjaga aktifitas ditingkat universitas. Terutama ketika KDF belum terbentuk atau belum kuat (sebagai wadah mahasiswa fakultas)

2. KD fakultas (KDF) mempunyai fungsi:

- Menjadi embrio bagi komisariat fakultas organ universitas kita

- Mematangkan mahasiswa fakultas yang telah berhasil termobilisasi dalam KDU dengan diskusi dan aktifitas politik lainnya.

- Mengkoordinasi secara serius kawan baru yang maju untuk kemudian diprespektifkan sebagai pengurus kom-fak. Dengan membentuk kelompok kawan maju, dan kemudian secara bersama merencanakan pendinamisan diskusi dan politisasi mahasiswa fakultas yang belum maju. Secara kontinyu demikianlah KDF berjalan.

- Mensetting penguasaan fakultas dari mulai struktur lembaga mahasiswa yang ada sekarang (senat, eksekutif, persma) hingga memenangkan propaganda di fakultas (mis.:selebaran tempal yang rutin). Sehingga pada keseluruhan mahasiswa harus diambil kepemimpinan (jurusan, angkatan, kelompok olah raga/seni/agama).

Aktifitas KD tentunya membutuhkan pemahaman masing-masing organiser atas apa yang harus dilakukan dan didiskusikan, tentang bagaimana kepemimpinan bisa diwujudkan difakulktas. Tentang metode pengorganisiran, banyak bacaan yang bisa kita pelajari dan diskusikan antar organiser (jika perlu pendidikan khusus demi: Penguasaan Kampus). Tentang persiapanan materi diskusi, harus dipahami sebagai kerja yang penting. Sehingga dibutuhkan suatu silabus materi diskusi, yang menjamin sistematisasi dan pemajuan KD (terutama KDF). Setidaknya sebuah silabus materi diskusi, menyodorkan beberapa tema dan acuan materi, yang akan disampaikan organiser (fraksi kita) sebagai usulan pada KD-nya. Sekaligus memuat sistematisasi materi berdasar tahapan diskusi menuju tahap yang semakin maju. Jangan lupakan juga alat politik kita yang penting untuk pengorganisiran: terbitan, selebaran (entah apapun bentuknya)

Membentuk Organisasi Mahasiswa Tingkat Kampus

KD terjaga kemajuannya, pasti akan menemukan kebutuhan untuk membentuk organ yang lebih maju dibanding KD. Maknanya adalah bagaimana KD mampu memimpin pada sebuah tuntutan untuk mempraktekkan hasil diskusi, dalam arti lebih dalam adalah sampai pada sebuah kesadaran untuk mewujudkan gerak perlawanan mahasiswa.

Sejak sebelum pembentukan kelompok diskusi, konsep organisasi yang hendak dibangun di universitas, harus sudah dipahami. Sehingga tidak akan ada kelompok diskusi yang akhirnya tidak menjadi bagian dari organ kita. Rapat organisasi (yang sekarang ada) nantinya akan selalu membahas perkembangan setiap KD yang terbentuk, sehingga mampu dipahami sejauh mana langkahnya menuju pembentukkan organ yang lebih tinggi.

Sebagai permulaan, kita dapat membentuk sebuah kelompok inti, (core group). Pada umumnya, lingkaran inti terdiri dari 5 sampai 7 orang. Lingkaran ini akan menjadi kelompok pekerja yang mesti bertanggungjawab terhadap ekspansi organisasi. Setelah kelompok inti dibentuk, pertemuan-pertemuan tetap harus diadakan. Lewat pertemuan-pertemuan ini semua anggota lingkaran inti akan siap informasi (well informed) akan perkembangan-perkembangan baru. Serentak bersama pembentukan lingkaran inti, organiser harus mewakilkan tanggungjawabnya pada orang lain. Untuk tugas-tugas sementara, orang-orang yang ada dalam lingkaran inti bakal melaksanakan tugas seperti berikut: Keuangan, rekruitmen, pendidikan, tugas-tugas penghubung dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, organiser harus tetap memperhatikan posisinya sebagai penasehat.

Langkah kelompok inti yang berikutnya haruslah bertujuan dan merupakan pengukuhan formal organisasi. Akan tetapi core group harus pertama kali mempersiapkan segala macam dokumen-dokumen organisasi yang dibutuhkan. Hal ini mencakup orientasi, tujuan, dan konstitusi lengkap organisasi. Semua berkas-berkas ini harus didiskusikan secara kolektif dan menyeluruh oleh kelompok. Semua saran dan komentar dari tiap anggota harus dipertimbangkan.

Langkah selanjutnya adalah proyeksi organisasi pada khalayak mahasiswa. Proyeksi organisasi akan berbentuk sebagai berikut : Poster-poster yang akan mengumumkan berdirinya organisasi, poster-poster yang akan memperdebatkan organisasi, poster-poster yang akan mengundang anggota baru. Hasil dari proyeksi kita ini haruslah menjadi ekspansi organisasi. Dimulai dari kelompok inti kita harus bisa memperluas keanggotaan. Melengkapi tugas-tugas ekpansi adalah kerja konsolidasi. Konsolidasi berarti memperdalam para anggota memahami tujuan dan arah organisasi. Melalui proses orang-orang akan membangun komitmen yang lebih dalam terhadap tujuan-tujuan organisasi.

Jumlah anggota yang bisa disyaratkan untuk bisa disebut dan dibentuk cabang organisasi adalah 15 orang. Jadi tugas core group lah untuk memenuhi jumlah tersebut. Sesudah mendapatkan jumlah tersebut, kemudian kita akan siap untuk mengadakan rapat umum (general assembly) untuk secara formal mengukuhkan organisasi. Dalam rapat ini kita akan memiliki pengurus yang akan bekerja sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh konstitusi. Lebih jauh lagi pertemuan besar ini adalah kesempatan untuk mengelompokan para anggota kedalam berbagai komisi atau seksi yang ada. Antara lain pendidikan dan penelitian, pengorganisiran. keuangan, keanggotaan dan sebagainya tergantung pada kepentingannya dan kesanggupannya.

Sesudah pendirian formal, pertemuan-pertemuan berbagai departemen atau seksi dan tingkat-tingkat berbagai organisasi harus diadakan secara tetap. Pertemuan tersebut menangani persoalan-persoalan organisasi yang muncul selama organisasi berjalan. Agenda pertemuan tersebut meliputi, rencana-rencana, perkembangan-perkembangan baru dan sebagainya. Pertemuan-pertemuan mengecek dan menguji bentuk organisasi supaya berfungsi lebih baik.

Proses mengorganisir tidak berhenti. Pada tahap pendirian organisasi secara formal. Untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi, organisasi beserta seluruh perangkatnya harus mengintensifkan kerja pengorganisiran kembali dan konsolidasinya.

Panduan Dasar Berorganisasi

Membangun Basis

Membangun basis-basis adalah perwujudan konkret dari kepemimpinan di suatu wilayah. Seluruh usaha mengorganisir akan diarahkan menuju pembangunan basis. Suatu wilayah basis berdiri pada saat kehadiran kita di suatu tempat (kampus, desa/kampung/pabrik) memegang peranan yang menentukan dalam menetapkan arah dan tujuan tempat tersebut. Konkretnya bahwa organisasi-organisasi dan aliansi-aliansi maupun organisasi formal yang ada ada dibawah kepemimpinan kita. Dan karena itu sanggup menyokong dan menjawab kebutuhan-kebutuhan perjuangan dan kampanye-kampanye massa kita. Kepemimpinan langsung di jamin melalui kelompok inti kita yang memegang dan meliki posisi berpengaruh dalam tubuh organisasi-organisasi kita.

Bagaimana selanjutnya kita membangun basis tersebut?

Dari kampanye-kampanye massa yang dilancarkan oleh organisasi kita dapat mengenali sejumlah kontak yang dapat dikembangkan sebagai aktifis-aktifis massa yang bekerja disuatu tempat. Kontak-kotak ini dapat didorong guna menyediakan investigasi awal bagi wilayah kita dan untuk membentuk cabang-cabang yang tersusun rapi dari organisasi. Kontak-kontak tersebut kita dorong untuk membentuk komite-komite atau mengubah himpunan-himpunan fakultas/ universitas menjadi komite-komite dan menyatukannya ke dalam Liga.

Pada saat kita secara meningkat memiliki posisi yang kuat, kita sanggup meresapkan pengaruh dan memberikan pedoman kepada pemimpin-pemimpin organisasi lokal yang sudah berdiri dan mendorong mereka untuk maju mengambil pemihakan terhadap Liga. Dari tengah-tengah aktifis mahasiswa, kita bisa mendapatkan kontak-kontak mahasiswa aktif yang bisa menerima orientasi program kita dan akhirnya membuka langsung secara terbuka untuk bergabung ke Liga.

Anggota-anggota aktif lain perlu didorong untuk maju mengambil peranan aktif dalam organisasi dan aliansi-aliansi yang kita bangun sebagai bagian yang paling berpengaruh dan penting dari kerja-kerja kampanye massa. Hal ini berbarengan dengan kerja-kerja pendidikan dan propaganda sehingga bisa meluas ke kampus/Fakultas lain. Adalah keharusan bagi organisasi kita untuk membangun basis jika kita hendak memobilisasi ribuan massa mahasiswa untuk kampanye kita.

Bangkitkan, Mobilisasikan dan Organisir massa mahasiswa

Organisasi kita bertanggungjawab memimpin gerakan massa mahasiswa. Program-program organisasi mengakui peranan menentukan kita dalam mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia. Program-program kita lebih jauh mensyaratkan mahasiswa untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan sektoral mahasiswa maupun issu nasional dan mengorganisir serta membangun front selebar mungkin dalam sektor mahasiswa secara khusus dan dikalangan rakyat pada umumnya.

Perwujudan dan realisasi tugas-tugas ini sebagian besar tergantung atas dilancarkannya gerakan massa terbuka mahasiswa. Gerakan massa terbuka mahasiswa adalah aksi bersama mahasiswa yang terorganisir, terencana, dan berkelanjutan (well organized, well planned, and sustained) dengan tujuan memberikan dampak perubahan dalam tubuh sektor mahasiswa maupun masyarakat, seperti : sistem pendidikan dan masyarakat secara keseluruhan. Wataknya yang terbuka perlu menyentuh massa mahasiswa selebar mungkin. Dipihak lain, jumlah populasi sektor ini saja dan keberadaannya yang terpusat di kampus-kampus, menjadikannya kekuatan massa yang potensial untuk memajukan perjuangan demi perubahan mendasar dalam tubuh sistem pendidikan dan membantu membentuk pendapat umum yang sejalan dengan perjuangan demokrasi. Gerakan massa terbuka mahasiswa berjuang untuk hak-hak dan kepentingan-kepentingan demokratis secara khusus dan berjuang untuk aspirasi demokratis mahasiswa dan rakyat pada umumnya.

Untuk melancarkan, meneruskan dan mengintensifkan organisasi, kita harus secara jelas memahami saling hubungan antara kerja dan perlengkapan-perlengkapan, gaya kepemimpinan dan cara-cara mengorganisir.

Lancarkan kerja Propaganda dan Pendidikan

Untuk membangkitakan kesadaran dan menggerakan sektor melancarkan aksi, kita melakukan kerja propaganda pendidikan.

Kerja propaganda dan pendidikan kita memberikan kesadaran dan perhatian terhadap isu-isu sektor mahasiswa yang dihadapi dan perjuangan demokrasi di Indonesia dengan pandangan memberikan kepada mereka analisis yang komprehensif dan kontekstual, yang berkaitan dan berakar pada persoalan mendasar masyarakat kita. Dengan demikian, menggerakan mereka melancarkan aksi yang sejalan dengan persoalan yang menimpa mereka.

Secara umum, kegiatan propaganda dapat dibedakan dari kegiatan pendidikan dalam hal tujuan, isi yang diberikan dan cara melakukannya. Propaganda dijalankan untuk mengangkat dan mempopulerkan suatu isu atau menggerakan peserta/pendengarnya guna mengambil bentuk khusus aksi politik. Maka, sifatnya eksplisit, terus terang dalam hal membeberkan isu secara emosional dan agitatif untuk mengharuskan perlunya aksi politik. Kerja pendidikan, di pihak lain, dikerjakan untuk memperdalam tingkat pemahaman para peserta terhadap isu tertentu guna meningkatkan kesadaran dan komitmen sosial mereka. Pendidikan dijalankan secara sistematik dan berkelanjutan , informatif dan mensolidkan.

Oleh karena sifat dan tujuan pokoknya, kerja propaganda dijalankan dengan cara menyapu (sweeping) misalnya hanya sejauh massa atau pendengar memperhatikan. Sedangkan kerja pendidikan oleh karena sifatnya yang komprehensif membutuhkan waktu lebih lama dalam kegiatannya dan akan lebih efektif dengan jumlah peserta yang lebih sedikit. Kerja propaganda-pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Kita coba menggolongkannya sebagai berikut :

1. Bahan-bahan propaganda-pendidikan tertulis seperti : statemen, press release, pedoman belajar, referensi-referensi dan semacamnya.

2. Aktivitas-aktivitas propaganda-pendidikan oral, lisan seperti : seminar, simposium, ceramah, wawancara, workshop dan semacamnya

3. Bahan-bahan dan aktivitas-aktivitas propaganda audio visual seperti : teater, drama kebudayaan, pertunjukan film dan video, produksi slide, poster dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman, bentuk-bentuk kerja propaganda-pendidikan tertentu cocok untuk lapisan-lapisan berbeda suatu sektor. Sebagai contoh bentuk audio-visual seperti teater rakyat atau lagu-lagu rakyat sangat mudah diserap danm efektif untuk sektor umum. Dalam bentuk propaganda-pendidikan tertulis, penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah atau mungkin bahasa Inggris, gaya tulisan, pemilihan bentuk cetakan (leaflet, buku saku atau selebaran misalnya) harus diperhitungkan masak-masak tergantung pada lapisan khusus yang ditargetkan. Dalam bentuk propaganda-pendidikan lisan, misalnya seminar atau diskusi panel, pemilihan pembicara, penyanggah dan pembawa acara harus memperhatikan peserta/pendengar untuk mewujudkan target lebih efektif.

Sasaran tempat bagi kerja propaganda-pendidikan kita adalah ruangan kelas, kampus secara umum, organisasi-organisasi mahasiswa, kampung asrama mahasiswa dan masih banyak lagi. Bentuk dan sasaran tempat untuk kegiatan propaganda-pendidikan adalah banyak, sebanyak tenaga dan kreativitas yang dimilki dan diditemukan oleh massa mahasiswa.

Kunci pokok bagi kesuksesan kerja propaganda-pendidikan kita terletak pada kemampuan dan kesanggupan organiser kita mengetahui tingkat kesadaran massa secara obyektif. Kecakapan bertolak dari tingkat itu dan dari sana membangkitkannya menuju garis politik. Walaupun begitu seseorang pasti menemukan derajat kesadaran sosial yang berlainan diantara orang-orang di suatu wilayah atau area kerja. Maka khususnya penting agar kerja pendidikan-propaganda dirancang ada berbagai tingkat-tingkat agar dapat menyentuh jumlah orang sebanyak dan seluas mungkin.

Jadi, kerja pendidikan-propaganda dapat digolongkan menurut isu atau topik yang dibawakan dan tingkat kesadaran peserta/pendengar yang ditargetkan, misalnya, isu-isu tentang hak-hak ekonomis dan demokratis, isu hak asazi, dan isu-isu demokrasi yang komprehensif. Yang harus jelas bagi organiser kita bahwa kekhususan peserta/pendengar yang ditargetkan menentukan tingkat dan bentuk pendidikan-propaganda yang harus digunakan. Memang sudah terang bahwa setiap aktifis harus menggalakan kerja pendidikan-propaganda pada berbagai tingkat atau level menuju arah perjuangan politik. Ini berarti bahwa, analisis atas isu-isu sektoral atau multisektoral khusus harus dilihat dalam konteks merapuhnya struktur pendidikan dan negara yang diakibatkan oleh krisis di masyarakat

Lebih jauh lagi kerja pendidikan-propaganda haruslah membawa massa pada kenyataan tatanan masyarakat yang tidak demokratis dan harus mengajaknya pad pilihan perjuangan politik. Singkatnya secara ilmiah kita mesti mengkaitkan solusi akhir isu-isu sektoral dan subsektoral kepada perjuangan politik secara nasional. Untuk membantu kerja keras kita menjalankan pendidikan-propaganda, kita dapat memanfaatkan dan menggunakan program-program dan lembaga-lembaga formal kampus yang kaya akan ahli, jaringan juga dana dan data.

Satukan massa mahasiswa dalam organisasi kita

Tujuan yang lebih konkret dari kerja pendidikan-propaganda kita adalah membumikan tingkat kesadaran sosial massa yang makin tinggi menjadi keputusan untuk melakukan aksi massa dan berorganisasi. Adalah penting untuk menekankan adanya hubungan saling melengkapi antara kerja propaganda massal dengan menyodorkan bentuk-bentuk organisasi tertentu yang menjamin kehendak anggota-anggota kita dapat menyatakan kesadaran dan keterlibatan dengan lebih memasyarakat.

Untuk memudahkan kerja, kita menarik garis pemisah antara organisasi massa kita dengan aliansi berdasarkan orientasi, sasaran yang ditargetkan, arah dan tujuan pokoknya, dan bentuk bentuk aktivitas masing-masing. Sebuah aliansi yang lebar merupakan suatu himpunan dari berbagai organisasi mahasiswa dan perorangan dalam suatu wilayah tertentu.

Pada masa awal kerja keras mengorganisir, aliansi dibangun terutama lebih menangani issu sektoral dan hak-hak ekonomis dan demokratis secara jitu memperhitungkan wataknya yang longgar, sekalipun demikian pada saat sekarang ini bisa juga dapat digunakan untuk mengangkat issu-issu politik nasional. Aliansi yang tulen dan efektif merupakan kunci pokok untuk melancarkan perjuangan massa yang berskala luas dan memberikan dampak politik besar.

Di pihak lain, kita mendirikan organisasi-organisasi massa untuk lebih efektif mengorganisir dan mensolidkan massa mahasiswa yang jumlahnya cukup besar, dan anggota-anggota sektor pendidikan lainnya. Berikutnya, kita memberikan perhatian khusus untuk membentuk organisasi politik dengan tipe organisasi massa dimana kontak-kontak mahasiswa yang lebih politis diorgnaisir, dimobilisr dan disolidkan untuk melancarkan aksi-aksi mengenai isu-isu yang lebih umum seperti Dwi Fungsi ABRI, Pemerintahan Koalisi Demokratik, Imperialisme, ketimpangan dan kemerosotan ekonomi dan ham dan seterusnya. Melalui organisasi Liga, kita harus sanggup memberikan media bagi keterlibatan mahasiswa yang lebih militan berkaitan dengan isu-isu sektoral sampai ke isu-isu rakyat secara umum.

Lancarkan kampanye massa dan perjuangan massa

Kita memasukan kontak-kontak kita ke dalam berbagai jaringan organisasi kita sehingga mampu melibatkan mereka pada berbagai level dan cara perjuangan politik. Targetnya adalah kampanye massa dan perjuangan massa.

Kampanye massa dan perjuangan massa merupakan aksi politik yang terencana, terorganisir baik, dan terkonsolidasi untuk mempopulerkan isu-isu strategis seperti : Pencabutan Dwi Fungsi ABRI, Pemerintahan Transisi dan imperilaisme. Kampanye massa biasanya diadakan secara berkala, seperti dalam kampanye HAM yang biasanya dilakukan setiap tahun dan memuncak pada bulan Desember. Perjuangan massa, dipihak lain adalah aksi politik yang dilancarkan untuk mewujudkan dan dipenuhinya tuntutan-tuntutan tertentu. Seperti juga kampanye massa juga mutlak merupakan aksi politik yang well organized, well-planned, dan well coordinated. Perjuangan massa juga harus dilakukan dengan cara yang berkelanjutan. Jenis perjuangan massa yang paling umum kita kenal adalah aksi-aksi yang secara tetap kita lancarkan sampai hari ini.

Penting untuk dicatat bahwa perjuangan massa dapat dilancarkan dalam suatu kampanye massa, contohnya, perjuangan para mahasiswa atau dewan mahasiswa, kebebasan mimbar akademik, otonomi kampus dari campur tangan kelas penguasa, perbaikan fasiltas belajar (perpustakaan yang lengkap, ruang kelas yang memadai) penurunan uang SPP, umpamanya dapat dilakukan dalam konteks kampanye massa untuk sistem pendidikan yang pro-rakyat, ilmiah, dan demokratis.

Baik kampanye massa maupun perjuangan massa biasanya mencakup dilancarkannya aksi massa. Aksi-aksi massa adalah kegiatan politik khusus yang dijalankan untuk mendramatisir isu atau tuntutan guna memenangkan simpati dan dukungan khalayak ramai. Ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, tergantung kreativitas, tenaga dan kegairahan kita.

Kita melancarkan kampanye massa dan perjuangan massa untuk membeberkan penyakit masyarakat dan memperlihatkan kebenaran dan efektifitas aksi bersama yang militan. Dalam hal perjuangan massa kita juga melakukan hal yang sama untuk memperjuangkan dan menjebolkan tuntutan-tuntutan adil dan absah kita. Dalam kedua proses tersebut, kita sanggup memenangkan simpati dan dukungan warga negara yang semakin bangun berdiri dan berpihak kepada revolusi demokratik. Partisipasi dalam kampanye massa dan perjuangan massa massa menempa pengalaman dan menggembleng massa mahasiswa untuk perjuangan yang lebih gigih dan lebih besar lagi di hari esok. Kampanye massa dan perjuangan massa juga memperkuat dan mengintensifkan kerja keras kita untuk mengguncang dan pada akhirnya menjungkirbalikan rejim yang tidak demokratis.

Perjuangan politik yang dilancarkan sektor pemuda dan mahasiswa bersama-sama sektor lain dalam masyarakat Indonesia —buruh-tani—kaum miskin kota, nelayan, pedagang, perempuan, intelektual, dosen-dosen, guru , kaum profesional, dan juga suku anak dalam memang masih kecil dan lemah. Namun demikian sepanjang kita berjuang dan konsisten dengan prinsip garis massa, oleh massa dan demi kemenangan massa, maka kerja keras kita, cucuran keringat dan darah kita, akan menjelma menjadi mahkota kemenangan rakyat.

Kampanye massa dan perjuangan massa akan berdampak dua gerakan yang sejajar: yang satu berhadapan dan memperjuangkan isu-isu ekonomi tetapi selalu terkait dengan level politik, yang lain berjalan berhadapan secara langsung dengan soal-soal politik. Pada titik kunci kampanye-kampanye kita, dan dalam koordinasi dengan menghasilkan sektor-sektor lain, dua gerakan yang bersatu akan menghasilkan derajat kelumpuhan yang meningkat.

Berikut ini merupakan langkah-langkah yang perlu dalam melancarkan kampanye massa dan perjuangan massa :

1. Investigasi dan analisa yang menyeluruh atas isu-isu dan tuntutan-tuntutan, satukan massa mahasiswa pada analisis ini, dan tetapkan bentuk perjuangan yang tepat. Tahap atau langkah ini mencakup penetapan target minimum dan maximum dalam realisasi tuntutan-tuntutan dan dalam mempopulerkan isu-isu tersebut. Tentu saja merupakan keharusan untuk mengkaitkan atau menempatkannya dalam analisa umum demokrasi sejati. Yang penting harus diperhitungkan juga adalah penentuan kekuatan kita berhadapan dengan kekuatan musuh.

2. Tetapkan rencana-rencana aksi, anggaran dan jadwal. Langkah ini sangat penting dan menentukan dalam menjabarkan rencana aksi secara pasti, dalam arti bentuk dan tingkat mobilisasi dan propaganda, penentuan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan, tetapkan dan jalankan jadwal kerja (mulai mendirikan panggung sampai puncak kampanye atau perjuangan hingga penutupan atau perhentiannya) begitu juga harus ditentukan tempat, pembagian tugas, cara keterlibatan mahasiswa secara umum dan perorangan tertentu secara khusus.

3. Adakan penilaian terhadap kampanye massa dan perjuangan massa untuk menarik pelajaran dari sana guna aksi di lain hari. Penilaian sangat menentukan untuk membuat rencana ke depan. Secara khusus sangat penting mencatat faktor-faktor yang menyumbang keberhasilan aktivitas-aktivitas politik yang digunakan dalam kampanye atau perjuangan tersebut. Kesalahan dan kekeliruan harus pula di catat. Penilaian juga memasukan orang-orang potensial untuk direkrut ke dalam organisasi kita.

4. Gambarkan kemenangan-kemenangan dalam perjuangan! Langkah ini utamanya cocok bagi perjuangan massa. Tidak ada pengganti untuk menang. Bahkan bila saja perjuangan tidak seluruhnya berhasil, tetap perlu diproyeksikan, digambarkan hasil-hasil positif, meskipun sangat minimal, agar massa mahasiswa kita dapat membawa pulang kesadaran bahwa kita memiliki kekuatan yang melekat dalam berorganisasi dan dalam melakukan aksi bersama. Jadi bisa melibatkan mereka dalam perjuangan yang lebih besar di hari depan.

5. Konkretkan keberhasilan menjadi hasil-hasil organisasional! Oleh karena massa mahasiswa telah digembleng oleh pengalaman mereka dalam kampanye dan perjuangan, maka kita harus bisa menghitung pengalaman ini untuk memperluas, mengembangkan dan mengkonsolidasikan organisasi kita. Berupa perekrutan.

Berdasarkan pengalaman perjuangan massa tabun-tahun lalu, kita mengetahui dan menyadari perlunya langkah-langkah berikut ini :

1. Rancang perjuangan menuju penambahan kekuatan. Suatu perjuangan massa selalu harus merupakan peristiwa yang dramatik. Karena itu prinsip dasar dramatik dalam rangka penambahan kekuatan harus diterapkan dalam melancarkan perjuangan massa. Pastikan bahwa ada persiapan-persiapan yang sudah dibuat sebagai dasar-dasar tuntutan. Ini berarti dijalankannya kerja propaganda/pendidikan berkaitan dengan tuntutan-tuntutan tersebut.

2. Ketahui bilamana mundur dalam posisi menang! Pada saat aksi massa berlangsung keras dan kasar, karena harus berhadapan dengan bayonet, pentungan, gas air mata dan juga peluru maka kita perlu mengambil langkah mundur kalau memang kekuatan kita tidak memungkinkan. Dengan segala cara dan perhitungan yang mungkin, ketimbang tuntutan kita lepas dan hancur tota1 atau para mahasiswa menjadi kapok dan demoralisasi dan organisasi menjadi keropos total.Dalam kasus ini, maka prinsip yang harus diingat dan digunakan adalah mundur satu langkah dan maju dua langkah ke depan. Akan tetapi hal yang penting dan menentukan adalah mengetahui kapan dan bilamana prinsip ini harus diterapkan suatu penilaian yang obyektif atas situasi diperlukan apakah kita dapat terus berjalan ataukah kita betul-betul menghadapi jalan buntu.

3. Adakan penilaian sehari-hari terhadap seluruh jalannya perjuangan massa! Supaya kita selalu berada pada puncak situasi dan kita bisa menentukan setiap langkah kita, maka kita melakukan asessmen sehari-hari atas seluruh jalannya perjuangan massa.

B. MENSOLIDKAN ORGANISASI KITA !

Sekali kita bekerja memperluas sel dan cabang organisasi kita menjadi sel dan cabang yang lebih besar, maka harus juga disolidkan semua anggota dan kekuatan persatuan organisasional dan politis kita. karena itu, hanya melalui kerja saling menguatkan antara ekspansi dan konsolidasi kita dapat mewujudkan langkah maju dan menentukan untuk perjuangan demokrasi sejati.

Bagaimana, kita mengerjakan ini?

Kita mengerjakan hal ini dengan setahap demi setahap memperkenalkan dan memimpin anggota-anggota kita pada keyakinan mengikuti dan mematuhi praktek kepemimpinan bersama. Kita mempraktekkan kepemimpinan bersama, pertama sekali dan paling penting, dengan menjalankan perencanaan bersama atas kerja pendidikan, politik dan organisasional kelompok. Konsolidasi di sini dilakukan dalam konteks teori dan praktek revolusioner.

Dengan kerja pendidikan, kita mengidentifikasi bahan-bahan yang menurut anggota harus dipelajari untuk mengasah pemahaman mereka terhadap isu-isu yang sedang dihadapi, menempa pengetahuan teoritis mereka, mempertajam skill menjalankan taktik dan kecerdasan politik mereka atau membimbingnya dalam kerja mengorganisir. Jadwal-jadwal disusun berdasarkan prioritas. Studi-studi ini dilakukan secara intensif.

Kerja politik kita dalam sel atau cabang pada pokonya meliputi pengadaan kegiatan-kegiatan propaganda, pendidikan, menggerakan massa untuk kampanye massa dan perjuangan massa, mengorganisir kawan-kawan mahasiswa lain dalam organisasi dan aliansi kita dan merekrut lebih banyak lagi ke organisasi kita. Jadi perencanaan kerja politik kita utamanya mencakup jawaban atas pertanyaan-pertanyaan- berikut ini:

Di mana kita berada sekarang ini? Bagaimanakah situasi ditempat ini? Sejauh mana kita te1ah menuntaskan kerja kita? Apakah target kita? apakah issu yang kita hadapi dan bisa kita maksimalkan? Jenis kegiatan apakah yang yang kita adakan? Bagaimanakah dengan aktivitas-aktivitas persiapannya? Siapakah yang, bertanggung Jawab atas tugas- tugas ini? Kapan kita akan melancarkan kampanye massa dan perjuangan massa? Bagaimana kita mengatasi kekurangan dan rintangan.

Hanya dengan, mengurai pertanyaan-pertanyaan dasar ini kita dapat menjamin bahwa kita sampai pada rencana komprehensif yang dalam berakar pada kondisi yang ada dan satu! bila diimplementasikan akan mendorong kerja kita beberapa langkah ke depan. Disamping itu kita adakan, sesion asessmen dan kritik-diri secara tetap dan teratur untuk memastikan mulusnya jalan kerja kita. Identifikasi kecenderungan positif dan negatif agar kita bisa bertindak atas ini, garis besarkan status atau keadan kita agar kita dapat menyusun rencana berikutnya; dan juga keseimbangan organisasional. Baik asessmen dan kritik-diri merupakan peralatan penting dalam kerja kita untuk mengatasi munculnya perbedaan yang problematis dan menghambat.

Dua soal organisasional yang sama pentingnya adalah soal keamanan dan keuangan. Bagian dari perencanaan harus meliputi asessmen kebijakan keamanan yang akan menjamin keamanan anggota dan organisasi keselurahan. Soal keuangan seperti pengumpulan iuran atau sumbangan dan juga anggaran kebutuhan sel/cabang harus dibahas pula. Sekali kita merancang program aksi kita bersama-sama, kita berlanjut pada pelaksanaan secara bersama atas dua prioritas tugas kita : ekspansi dan konsolidasi. Sepanjang kerja ini, kita adakan pengecekan dan monitoring terhadap kemajuan kerja kita dan terus mengamati keadaan/kesehatan pribadi kawan-kawan kita.

Akhirnya, tetaplah ingat bahwa selalu ada kegembiraan dalam mengorgansir massa mahasiswa untuk perjuangan demokrasi sejati! Pada waktu kita berorganisasi kita mengetahui dan sadar terdapat jutaan jiwa-jiwa pemberani dan tangguh yang sama-sama bekerja seperti kita demi tugas mulia dan perjuangan hidup-mati di seluruh tanah air Indonesia !

********

Rakyat Miskin (Dilarang) Pintar.

Draft Situasi Nasional- Pendidikan(2007)

1. Rakyat Miskin (Dilarang) Pintar.

Setelah di bom atom---yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran berat---Jepang mencoba untuk membangun kembali negaranya, salah satu variabel yang menjadi modal utama dan optimisme mereka adalah pendidikan. Jepang kemudian mengirim pemuda dan pemudinya belajar keluar negeri untuk mempelajari tekhnologi modern dengan biaya pemerintah, didalam negeri pemerintah Jepang mengutamakan pembangunan fasilitas Pendidikan dan memberi porsi anggaran yang besar untuk sektor pendidikan. Itulah kenapa Jepang bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa negara maju. Sangat beda halnya dengan kenyataan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, alih-alih untuk memajukan sektor pendidikannya malah pendidikan komersialisasikan dan dibiarkan dikuasai oleh Nafsu mengakumulasi modal(Baca; Kapitalisme).

Di bawah Pemerintahan SBY-JK nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal(pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi (1) Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; janji realisasi anggaran pendidikan minimal 20% (menurut Konstitusi) tidak juga di berikan. Dalam kesepakatan pemerintah dan DPR untuk 2007 dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan hanya Rp.51.3 Trilyun atau 10,3% dari total APBN, hanya Naik sedikit dari tahun 2006 sebesar Rp. 36,7 Trilyun atau 9,1 % dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar 210 trilyun sebuah angka yang sedikiti bila di banding dengan komitmen pembayaran utang luar negeri. Alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen. Penyebab Utama mereka untuk putus sekolah karena faktor ekonomi orang tuanya(baca; Miskin), Meskipun Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen. Maknanya apa? Bahwa 62 tahun Indonesia merdeka Rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lebih banyak ketimbang yang bisa menikmati pendidikan. Ini tidak ada perkembangan yang significant paska politik etis.

Untuk daerah DKI Jakarta, untuk menyekolahkan anak di TK-SD orang tua mesti mengeluarkan biaya kira-kira ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk SMP dan SMA lebih parah lagi harus mengeluarkan Jutaan rupiah, untuk sekolah tipe –Unggulan biaya yang dikeluarkan bisa puluhan juta. Sedangkan bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya di bangku perguruan tinggi/Universitas harus piker-pikir dulu, karena untuk biaya pangkal saja minimal 1- sampai 3 Juta, untuk jurusan elit seperti kedokteran bisa mengeluarkan puluhan sampai ratusan juta. Ini sangat bertentangan dengan realitas bahwa menurut data resmi yang diluncurkan Bank Dunia hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006) estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia dengan indicator pendapatan 2 Dollar perhari. Jika di hitung secara matematis maka di dapatkan data ada sekitar 109 juta orang dengan pendapatan 30 × 2 US$(18.000)=Rp.540.000 per bulan harus menanggung biaya pendidikan yang berkisar 1 sampai ratusan juta rupiah.

Problem ke(2) adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah klas-klasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Sebagai contoh kejadian di Serang, Banten sebuah bangunan sekolah ambruk karena hujan terus menerus selama tiga hari. Maka tidak heran kondisi mengenaskan dari bangunan sekolah-sekolah ini menjadi kekhwatiran dari para guru, murid, dan orang tua murid sehingga sering berbuntut protes terbuka seperti kejadian pada peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2006 di Stadion Manahan(Solo) yang membuat Yusuf Kalla ngomel-ngomel.Belum kalah mirisnya, terkadang bangunan sekolah yang terbatas ini di robohkan, (sengaja) ditutup karena arealnya mau dijadikan lahan untuk pembangunan Mall, perkantoran, atau karena komflik lahan dengan pihak swasta. Pemerintah yang mestinya berdiri melindungi kepentingan sekolah justru lepas tangan dan membiarkan hal tersebut terjadi.

Infrastruktur/fasilitas juga terkait dengan fasilitas laboratorium, buku-buku pelajaran, sarana olahraga, sarana kesenian, tempat ibadah, kantin, pusat bahasa, perpustakaan, Internet, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah unggulan di Jakarta yang (ber-status Internasional) manpu menyediakan fasilitas ini secara lengkap Namun problemnya hanya bisa di akses orang-orang kaya ( Anak pengusaha, Pejabat, selebriti).

Problem ke(3) adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-JK pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; kurikulum pendidikan sama sekali tidak berkualitas (beberapa masih sesuai dengan kepentingan orde baru seperti pencantuman kata “PKI” dalam buku pelajaran sangat tidak sesuai dengan semangat reformasi), pendidikan di arahkan untuk kepentingan neoliberalisme. Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek –Objek masih terus terjadi seperti kematian siswa akibat penganiayaan oleh gurunya, atau kasus penganiayaan di IPDN. menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya

Persoalan lainnya adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup laya keluarganya(kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan( buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk untuk melanjutkan kuliah. Di media massa seringkali kita mendengan nasib memprihatinkan dari guru-guru, seperti kasus di Mandar, Sulawesi barat seorang guru harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lebih untuk menghemat ongkos daripada naik angkot atau ojek(Koran SINDO). Nasib ratusan ribu guru kontrak di Indonesia sekaligus kenyataan bagaimana kondisi perbudakan modern yang di jalankan pemerintah, yang kemudian dalam beberapa kasus seperti kegagalan Ujian Nasional(Unas) kelompok inilah(guru Bantu dan guru kontrak) yang banyak di salahkan. Bagaiamana mungkin mereka bisa memaksimalkan kinerjanya kalau statusnya saja tidak jelas, apalagi kesejahteraannya.

Untuk mencari muka mendorong pendidikan nasional, sejak jaman orde baru sudah di canangkan wajib belajar 9 tahun, tetapi sama sekali tidak manpu mengurangi jumlah orng putus sekolah atau memberantas buta huruf. Penyebabnya Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) pemerintah menggratiskan sekolah(SD,SMP,SMA); (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.

Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Masih ada program dana Biaya Operasional Pendidikan(BOS) tetapi hitung-hitung manfaat dari program ini, malah banyak di selewengkan(baca; dikorupsi) oleh pihak kepala sekolah dan birokrasi Depdiknas. Kalaupun ada yang sampai ketangan sekolah itupun banyak yang salah sasaran, mestinya mengurangi biaya yang di keluarkan siswa/orang tua siswa malah dana BOS dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak pokok; menge-Cat dinding sekolah, memperbaiki pagar dan gerbang sekolah dan lain-lain. Program MDG,S yang juga di jalankan oleh SBY-Kalla tidak manpu mengankat martabat pendidikan nasional, hanyalah sebuah tipuan antara SBY-Kalla dan Tuannya(Modal Internasional).

2. Neoliberalisme di Lembaga Universitas

Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga(Unair), Univ Diponegoro(Undip), dan Univ Sumatra Utara(USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus(Neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.

Komersialisasi pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik ---bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional(syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus(konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk(Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus(dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.

Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin(Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran(satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.

Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat(MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya(BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah( Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani(Auditorium UNhas) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.

Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.

Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986)mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat."

Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideology Negara tetapi di jaman sekarang(baca; Neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.

Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal(komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja(Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University(dulu di cetuskan di jerman Untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,
seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT.  Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.  

Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti Unionisme(serikat mahasiswa),di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa(Korbannya si penulis Makalah ini), di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi(terutama organisasi radikal).

3. SBY-JK Anti Kemajuan Pendidikan Nasional(Sumber Daya Manusia Yang berkualitas-Modern-Kerakyatan).

Kebohongan SBY-JK dengan realisasi anggaran 20 % dalam APBN adalah bukti bahwa SBY-JK tidak punya itikad baik untuk memajukan pendidikan nasional, ini sangat beda dengan komitmen seorang Bupati Jembrana yang berani menggratiskan Pendidikan di daerahnya kendati Jembrana bukanlah kategoti daerah ber-pendapatan Asli Daerah(PAD) tinggi. Upaya memaksakan pemberlakuan RUU BHP-sebagai implementasi dari kehendak WTO dalam General Agreement On Trade and Service(GATS) adalah bukti persekongkolan pemerintahan SBY-Kalla dan DPR untuk mendorong pendidikan kearah Liberalisasi dan privatisasi. Pendidikan nasional terus di remehkan, di hilangkan watak ilmiahnya, dan rasionalitasnya semakin terjebak dalam pragmatisme korporasi-korporasi. Di bawah panji-panji neoliberalisme Universitas dipaksa mencari sumber pendanaan sendiri, anggaran pendidikan dari pemerintah semakin di perkecil bahkan coba untuk dihilangkan. Data dari PBB dan Bank Dunia menunjukkan bahwa dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar dolar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$25 ribu per detik. Mengingat fakta ini, patut dipertanyakan, apakah memang terhambatnya pendidikan lebih dikarenakan kurangnya sumber dana atau tidak adanya kemauan politik dari negara-negara dunia, khususnya negara-negara utara yang telah memberikan komitmennya untuk mengalokasikan dana hibah yang lebih besar bagi pendidikan di negara-negara berkembang?

SBY-Kalla mencoba menutupi kebohongannya dengan sejumlah ilusi baru; misalnya pemberian beasiswa kepada aktivis mahasiswa, kemudahan untuk beasiswa luarnegeri, program bantuan untuk penyelesaian study, dan lain-lain. Namun program tersebut tidak sanggup menghentikan kesenjangan sosial dalam memperoleh pendidikan layak dan berkualitas, tetap saja orang miskin tidak tertolong. Menurut Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi, justru mengkhawatirkan anggaran 20 persen itu akan menciptakan Depdiknas sebagai gudang korupsi. Sementara itu, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu tidak berpengaruh banyak pada biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi tidak serta merta akan murah. Dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi diperkirakan mendapat 20 persen atau sekitar 24 trilyun rupiah. Dana itu harus digunakan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta dengan total mahasiswa sekitar 4 juta orang. Padahal, kata Sofian seperti ditulis Media Indonesia (3/4), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan MK pun tidak mencapai standar nasional. Dan tidak bia diharapkan akan menurunkan biaya pendidikan tinggi.

Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Jika Mau sebenarnya SBY-Kalla bisa menggratiskan pendidikan, selama ini Anggaran negara banyak di hambur-hamburkan untuk sektor yang bukan kebutuhan mendesak(darurat) Rakyat. Misalnya dalam APBN posting untuk membayar hutang luar negeri masih sangat besar, (contoh untuk tahun 2005) alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Bayangkan untuk total anggaran yang direncakan pemerintah dari tahun 2006-hingga 2009 yang hanya sebesar 210 trilyun. Selama ini perangkat Hutang telah di jadikan jerat/debt Trap bagi negara-negara selatan(baca;negara miskin) Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.

Janji-janji bohong SBY-Kalla untuk menggratiskan pendidikan hanyalah sebahagian kecil bukti bagi kita untuk membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak akan mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Partai-partai borjuis yang kini berkuasa diparlemen dan tidak berjuang mencabut/menolak keberadaan UU/RUU yang berbau Komersialisasi/Privatisasi seperti UU sisdiknas No. 20 tahun 2003, PP nomor 61/tahun 1999, RUU BHP,RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. RPP ini tidak membicarakan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan RPP Wajib Belajar yang tidak konsisten dari pemerintah(mengharuskan wajib belajar tetapi tidak menciptakan syarat-syaratnya).

4. Perlawanan Terhadap Upaya Meng-Komersialisasikan Pendidikan

Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.

Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja.