Selasa, 24 Maret 2009

Tantangan Aktifis Masuk Parlemen

Arena pemilu 2009 akan betul-betul menarik. Ada 38 partai politik yang akan turut berkompetisi merebut dukungan rakyat. Dan yang menarik adalah keterlibatan sejumlah aktifis mahasiswa, ataupun gerakan sosial-radikal dalam pertarungan pemilu 2009. Ada Dita Indah Sari dari Papernas yang tergabung dalam PBR, ada Budiman Sudjatmiko dari PDIP, ada Aan Rusdianto dan Faizal Resa di PKB, Pius Lustrilanang di Gerindra, Anas Urbaningrum di Demokrat, Fadli Zon di Hanura, Rama Pratama di PKS, dan masih begitu banyak yang lain. Keterlibatan sejumlah aktifis dalam pertarungan pemilu 2009 kemudian dianggap menarik, jikalau tidak dipandang “ aneh” sejumlah kalangan. Karena keputusan sejumlah aktifis berkompetisi dalam pemilu dan tergabung dalam partai politik dianggap Rata Penuhtelah melanggar sebuah “koridor” umum, yang seolah sudah menjadi hukum tak tertulis, bahwa aktifis harus menjaga kemurnian idealismenya dengan tetap berada dijalanan.


Problem Gerakan Sosial-radikal di Indonesia
Aktifis terlibat dalam gerakan politik, dan bahkan berpartisipasi dalam parlemen merupakan hal yang sah, dan malahan menjadi wajib dimasa-masa tertentu. Dalam sejarah pergerakan di Indonesia, metode parlementer bukan hal yang baru. Pada masa pergerakan melawan kolonialisme, tepatnya Desember 1916, aktifis pergerakan masuk dalam Volksraad (parlemen boneka Belanda). Beberapa organisasi seperti BO (Boedi Oetomo), Insulinde, dan CSI (Central Serikat Islam) menyatakan berpartisipasi dalam Volksraad, dengan alasan parlementer memiliki kekebalan berhadapan dengan pemerintah kolonial, sehingga memudahkan dalam mengkampanyekan kepentingan rakyat hindia-belanda.

Pada tahun 1950, seiring dengan pengaruh demokrasi parlementer, dilaksanakan pemilihan umum yang pertama tahun 1955, yang disebut oleh sejumlah analis politik sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Gerakan mahasiswa dengan memegang teguh ideologi perjuangan dan platform politik menyatakan berafilisasi dengan partai yang memiliki garis ideologi dan politik yang sama. Seperti HMI yang berafilisasi ke Masyumi, PMII berafiliasi ke NU, GMNI berafiliasi ke PNI, CGMI berafiliasi ke PKI, GMKI berafiliasi dengan PARKINDO, dan Germasos berafiliasi kedalam tubuh PSI. kehidupan politik pada masa itu begitu sehat, politik aliran (ideologi) muncul dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk kampus.

Perkembangan positif ini justru dihancurkan oleh kediktaroran Orde Baru kemudian, yang menghancurkan gerakan politik-radikal dan membubarkan ormas-ormasnya. Orde baru menerapkan system floating mass (massa mengambang), yang melarang rakyat terlibat dalam kehidupan politik. Dimulailah era depolitisasi dan deideologisasi terhadap rakyat, termasuk gerakan mahasiswa. Di Mahasiswa sendiri berkembang sebuah prinsip gerakan yang disebut moral force (gerakan moral), yang memposisikan gerakan mahasiswa sekedar gerakan koreksi. Gerakan mahasiswa hanya bertindak sebagai pemicu sekaligus menjebol kebuntuan politik, setelah itu mahasiswa kembali kekampus, dan tongkat estafek diserahkan kepada politisi dan partai. Inilah fase dimana gerakan mahasiswa dan gerakan sosial-radikal diasingkan dari kehidupan politik, termasuk parlemen.

Tantangan Sebenarnya Bagi Aktifis yang Masuk Parlemen
Sudah lama partai politik kehilangan kepercayaan dimata rakyat. Terlebih sekarang, ketika beban ekonomi, kesulitan hidup, tekanan/kekerasan politik, diskriminasi terjadi dimana-mana, partai politik sibuk dengan pembagian kekuasaan dan korupsi. Bahkan, ada pengurus partai dan politisi di parlemen terlibat skandal seks yang memalukan. Itulah tangangan pertama dari aktifis yang terjun keparlemen sekarang ini; merubah pandangan negatif lembaga parlemen menjadi berwatak kerakyatan.

Kedua, persoalan utama partai politik dan hal ini menjadi hal umum dikalangan partai politik adalah ketiadaan atau kekosongan ideologi. Partai politik dan pengurus partai tidak punya pegangan ideologi sebagai penuntun arah dan langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Kehadiran aktifis harus menawarkan (menginjeksi) ideologi pergerakan kedalam partai. Ini tidak mudah, sehingga diperlukan pewadahan terhadap aktifis ini. Harus ada kontrak politik, harus ada control dari kekuatan organisasi dan unsure serikat buruh, tani, miskin kota, perempuan, NGO, dan lain-lain. Sehingga tidak boleh lagi aktifis sekedar menyerahkan diri bulat-bulat kedalam partai, tetapi harus disertai agenda perjuangan dan komitmen politik yang konkret.

Ketiga, mereka para aktifis harus melahirkan tradisi baru dalam berpolitik dan berpartai, termasuk merombak tradisi di parlemen. Tradisi ini memungkinkan dibangun, secara perlahan-lahan, dengan membangun semacam kaukus aktifis pergerakan lintas partai di parlemen. Tentunya dengan membuatkan ikatan platform, berupa program perjuangan yang sifatnya strategis sebagai jalan keluar penderitaan rakyat.

Penulis adalah aktifis Mahasiswa, Pengurus Eknas Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Pengurus DPP Papernas, Pengurus redaksi BERDIKARI online.