Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan akhir tahun

2008; Tahun Penuh Krisis dan Kekalahan Neoliberal

Ayo, 2009, Saatnya Kaum Pergerakan berbicara..


oleh:

Dewan Pimpinan Pusat-Partai Persatuan Pembebasan Nasional

DPP-PAPERNAS


Tahun 2008, seperti diketahui, merupakan tahun yang berat bukan saja pada kehidupan ekonomi, tapi juga politik, sosial, dan kebudayaan. Selama setahun, dengan pendekatan ekonomi pemerintah yang tetap neoliberal, pencapaian ekonomi tahun 2008 tidak mengangkat kesejahteraan rakyat, malah sebaliknya, semakin mendorong mayoritas rakyat, terutama kalangan menengah dan bawah, terpuruk pada kesulitan ekonomi yang cukup parah.

Kita melihat kenyataan, bahwa pemimpin politik nasional saat ini tidak lagi berbicara kepentingan nasional dan seluruh rakyat, tapi lebih mendahulukan dan memfasilitasi kepentingan asing; perusahaan financial, korporasi raksasa, dan kaki tangannya didalam negeri. Dibawah pemerintahan ini, seolah-olah membalikkan kita pada era kolonialisme dimana kekayaan alam kita diperas oleh penjajah dan rakyat hanya menjadi sapi perahan untuk kemakmuran penjajah.

Berikut, kami akan melakukan koreksi terhadap perjalanan pemerintahan SBY-JK selama setahun, baik dalam lapangan ekonomi, politik, maupun sosial dan budaya. Seperti sebelumnya, bahwa koreksi ini merupakan sikap politik kami dan selanjutnya akan menjadi kesimpulan politik yang perlu perumusan jalan keluar yang tepat.

A. Masalah dalam Lapangan Ekonomi

1. Prestasi Ekonomi diatas Realitas Kosong

Pada akhir 2007, sangat jelas terlihat kepincangan ekonomi pemerintahan SBY-JK, bahwa sektor real semakin mandek (hancur), sedangkan sektor financial berkembang begitu hiper-aktif, seolah-olah tanpa kendali. pada saat itu, pemerintah benar-benar optimis pemerintah Indonesia dapat mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 6,8%. Tahun 2008, pemerintah berharap nilai spektakuler dari pertumbuhan ekonomi dapat berulang. Sayangnya, ekspektasi tersebut datangnya berhimpitan dengan krisis financial dan ekonomi dunia yang sedang mengarah pada resesi.

Sejak tahun 2007, ekonomi dunia sudah menampakkan tanda-tanda krisis, terutama karena stagnasi ekonomi negeri kapitalis maju. Namun, pemerintah SBY-JK tidak memperhitungkan hal semacam itu, bahkan tetap menebar optimisme dan ekspektasi berlebihan. Ekspektasi pemerintah dibangun diatas angka-angka fantastis, terutama target pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, rasio utang luar negeri terhadap PDB, posisi cadangan devisa, dan terakhir likuiditas perbankan, yang sebenarnya berdiri pada realitas yang kosong.

Pertama, pemerintah berkeyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi 2008 akan mencapai 6,8 %. Kalaupun terjadi koreksi, maka setidaknya angka pertumbuhan masih berkisar diatas 6% atau lebih tinggi dari masa krisis 1997 dan 1998 yang masing hanya mencatatkan pertumbuhan ekonomi 4,7 persen dan minus 13,4 persen

Kedua, Inflasi. Laju inflasi secara keseluruhan tahun 2008 optimis mencapai 12,1 persen. Meski naik dua kali lipat dibanding laju inflasi 1997 sebesar 6,5 persen, namun relatif masih jauh lebih baik dibanding laju inflasi 1998 sebesar 77,6 persen.

ketiga, nilai tukar rupiah. Meski terjadi lonjakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, namun bobot lonjakannya masih relatif terkontrol dibanding kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang 1997 dan 1998.

keempat, utang luar negeri terhadap PDB. Hingga akhir tahun 2008, rasio utang luar negeri terhadap PDB optimis mencapai 30 persen, jauh di bawah rasio utang luar negeri terhadap PDB pada 1997 dan 1998 masing-masing 60 persen dan 72 persen dari PDB.

kelima, merujuk pada posisi cadangan devisa, yang pada 2008 mencapai 57,1 miliar dolar AS, dua kali lebih banyak dibanding cadangan devisa 1998 yang kala itu 23,5 miliar dolar AS, atau tiga kali lipat total cadangan devisa 1997, 17,4 miliar dolar AS.

keenam, adalah likuiditas perbankan. kondisi perbankan dalam negeri, yang menunjukkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) 17,21 persen, jauh diatas CAR 1997 dan 1998 yang masing-masing tercatat 9,19 persen dan minus 15,70 persen. Dengan 9,5 persen, suku bunga SBI 2008 jauh di bawah tingkat suku bunga SBI 1997 dan 1998, yang masing-masing mencapai 20,0 persen dan 38,4 persen.

Baiklah kita periksa, supaya bisa menemukan objektifitas ketika ditarik pada realitas ekonomi sebenarnya. Karena selama ini, beberapa survey dan proyeksi yang disampaikan begitu berbeda dengan kenyataan pada ekonomi secara nyata, dan juga dampaknya pada kesejahteraan rakyat.

Mengenai pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007, Pada tahun 2007, factor pendorong pertumbuhan ekonomi berasal dari tingginya konsumsi, peningkatan harga komoditas global, dan meningkatnya aliran hot-money oleh spekulan asing. Pada factor konsumsi, penyumbang terbesarnya paling banyak dari kredit sepeda motor, kartu kredit dan property komersil. Kredit konsumsi seperti kartu kredit, kredit untuk pembelian barang-barang elektronika, kredit untuk pembelian motor dan mobil ditambah kredit tanpa agunan menjadi andalan perbankan. Menurut risal ramli, kredit untuk sepeda motor telah mencapai Rp. 6 trilyun, dan pada waktu bersamaan, terjadi peningkatan tajam harga kebutuhan pokok seperti beras (6-10%), gandum (50%), kedelai (100%), gula dan minyak goreng telah menyebabkan beresiko tinggi terhadap standar pembayaran yang dibuat oleh peminjam.

Di bidang ekspor, pertumbuhan penerimaan ekspor bukan diperoleh dari daya saing ekonomi dan peningkatan kapasitas produksi, tetapi karena adanya kecenderungan naiknya harga komoditas di pasar internasional, terutama pertambangan dan CPO. Beberapa fakta memperlihatkan, jumlah komoditas yang diekspor tetap sama bahkan ada yang menurun.

Selama ini, pemerintah juga cukup puas dengan kemunculan Indonesia sebagai “emerging market” dalam pasar financial global. Data terakhir menunjukkan dana asing yang masuk SBI sebesar US$1,36 miliar, SUN US$847 juta, pasar saham US$623 juta. Sebagian hot money ditanamkan dalam bentuk saham atau obligasi dan investasi lainnya. Namun faktanya, tidak terjadi intermediasi atau korelasi antara sektor financial dengan sektor real, atau sektor financial bergerak jauh meninggalkan sektor real (ekonomi nyata). Sebagai misal, nilai kapitalisasi pasar saham tahun 2007 adalah 131,73% (67% GDP), menyebabkan crowding out sebesar 55,25%, Sayangnya, kalau dilihat dari angka PDB riil, sumbangan sektor finansial ke PDB hanya 11,75%. Dan kalau dipetakan, itu pun lebih banyak bersumber dari pajak transaksi. Sektor financial hanya memfasilitasi keserakahan para kapitalis untuk melipatgandakan modal mereka, tanpa bersusah-susah melalui proses produksi (M-C-M1).

Mengenai Perhitungan inflasi. Pendekatan pemerintah saat ini terlalu klasik mengenai inflasi, padahal menurut saya, tingkat inflasi bisa lebih tinggi dibanding angka perkiraan pemerintah, yakni 10-12%. Pendekatan pemerintah terlalu moneteris, yakni selalu berfikir inflasi pada sirkulasi uang yang beredar, bukan pada agregat antara kebutuhan hidup dan kemampuan membeli masyarakat. Akibatnya, dalam hal teori inflasi, pemerintah selalu menggunakan BI rate sebagai instrument menjinakkan inflasi. Tapi, pada aspek lain, justru menyimpan bom waktu yang berasal dari kesulitan ekonomi rakyat yang tertutupi.

soal nilai tukar rupiah stabil. Dalam beberapa hari kekisruhan di wall-street, terlihat dengan jelas bahwa rupiah melorot cepat akibat guncangan ekonomi global tersebut, hingga melewati Rp.10.000,00. Dibawah sistim financial yang hiperaktif, tanpa regulasi, dan dikendalikan oleh aksi-aksi spekulatif, maka tidak ada sedikitpun jaminan bagi stabilisasi nilai tukar, karena ini justru merupakan celah bagi kapitalis spekulan menjalankan aksi mendapat untung.

Soal rasio utang luar negeri terhadap PDB menurun. Meskipun pada kenyataannya terjadi penurunan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai nominal utang masih sangat besar sehingga membahayakan perekonomian Indonesia. Memang rasio utang terhadap PDB terus menurun, tetapi nilai nominal utang yang terakumulasi semakin bertambah, sehingga menyulitkan dalam menggerakkan ekonomi Indonesia. Pemerintah baru saja membanggakan, terutama melalui iklan partai Demokrat, bahwa SBY-JK telah berhasil mengatasi utang kepada IMF, padahal kenyataannya nilai akumulasi utang (pinjaman) dari lembaga kreditor lain seperti Bank Dunia, ADB, CGI, ataupun yang bilateral terus meningkat.

Mengenai Cadangan Devisa yang cukup besar, Data perekonomian (2006) juga menunjukan pembentukan modal tetap bersih (PMTB) berada di teritorial negatif. Berarti, peningkatan cadangan devisa tidak identik dengan dana berputar ke menggerakan daya kerja rakyat.

2. Penguasaan Asing Terhadap Kekayaan Alam

Dengan kekayaan alamnya, berupa hasil tambang, perkebunan, pertanian, kehutanaan, dan-lain-lain, merupakan sumber daya besar untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Namun kenyataan tidak demikian, sebagian besar kekayaan alam tersebut dikontrol oleh fihak asing. Sekitar 85%-90% sektor migas nasional dikuasai oleh fihak asing. Dari 85% dominasi asing dalam industri migas, sekitar 70% diantaranya adalah perusahaan asal AS, baik yang bergerak dalam industri migas maupun perusahaan jasa dan barang dengan total nilai US$9 miliar.

Gas alam merupakan input yang sangat vital dalam berbagai industri, diantaranya: industri logam, kimia, pulp dan kertas. Pada tahun 2005, produksi gas alam Indonesia tercatat sebesar 75 milyar meter kubik, hampir separuhnya (36 milyar meter kubik) diekspor. Sisanya sekitar 39 Milyar meter kubik digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Indonesia juga banyak dirugikan oleh kontrak penjualan gas. Kontrak yang dibuat pemerintah Indonesia pada tahun 2002 semasa Presiden Megawati berpotensi merugikan negara 75 miliar dolar AS, bila dihitung dengan acuan harga gas sekarang.

Indonesia juga menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor tersebut mampu menutup 25 persen permintaan pasar batubara dunia. Namun, penggunaan batubara untuk kebutuhan didalam negeri cukup kecil, termasuk untuk melayani kebutuhan industri dalam negeri.

Di akhir tahun 2008 ini, pemerintah benar-benar tuntas dalam meliberalisasikan sektor migas Indonesia, melalui pengesahan UU Minerba yang mengakhiri era kontrak karya dan meliberalkan sepenuh-penuhnya sektor pertambangan Indonesia, seperti halnya UU migas. Selain itu, kelangkaan gas elpiji yang berlansung di hampir seluruh daerah, terutama Jawa, dimana pemerintah melemparkan kelemahan distribusi dan pasokan kepada Pertamina, merupakan sinyalemen yang patut diwaspadai tentang hadirnya sektor swasta dalam penyaluran(distribusi gas elpiji) di Indonesia. Dampak kelangkaan gas, juga menyerbu sektor pertanian, dimana sudah berminggu petani-petani di pulau Jawa mendapati hilangnya pasokan pupuk di pasaran. Entah kemana?

3. Krisis Finansial dan Kegagalan Neoliberalism

Pada saat ini, tingkat (derajat) kesejahteraan rakyat sudah sampai pada taraf paling dasar (darurat), sehingga membutuhkan bukan sekedar solusi pergantian kekuasaan politik, tapi perubahan kebijakan ekonomi. Pengaruh krisis financial, tentu saja, merupakan bahaya terbesar didepan mata terhadap ekonomi nasional, terutama kalangan berpendapatan menengah ke bawah.

Beberapa minggu sebelul September hitam (kolapsnya wallstreet), pemerintah masih optimis dengan situasi ekonomi didalam negeri, bahkan ketika institusi keuangan internasional berjatuhan, Sri Mulyani tetap optimis bahwa ekonomi Indonesia tidak terlalu terganggu, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. namun, optimisme ini sekejap hilang ketika seluruh bursa saham dunia, termasuk Indonesia, mengalami kerontokan, bahkan 3 hari BEI di suspensi. Belum cukup dengan itu, serangkaian kebijakan buy buck dan Perppu JPSK yang dibuat untuk menjaga likuiditas perbankan, ternyata tidak dapat menyelamatkan Bank Indover, Century, dll.

Krisis financial, terutama AS dan Eropa, juga berpengaruh pada jatuhnya permintaan barang-barang ekspor Indonesia. Beberapa sektor industri dalam negeri mengalami kerugian. Sebanyak 80 persen ekspor mebel dari lima perusahaan anggota Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ke pasar AS terpaksa dibatalkan. Total kerugian yang diderita diperkirakan sekitar US$ 6,25 juta-US$ 7,5 juta.

Kelompok industri yang rentan untuk tersapu oleh krisis adalah; pertama, sektor industri yang bergantung pada ekspor produk, terutama dengan tujuan AS dan Eropa. Masuk kategori ini adalah tekstil, kayu/meubel, dan kerajinan. Kedua, sektor industri yang komponennya tergantung dari bahan baku impor, terutama bahan baku kapas, suku cadang, dan sebagainya. Masuk dalam kategori ini adalah otomotif, elektronik, dsb. Ketiga, sector industri yang banyak terkait pendanaannya (finansial)dengan institusi keuangan yang sedang kolaps, sehingga berpeluang terseret dalam krisis likuiditas.

Kendati demikian, pemerintah bukannya memperkuat benteng pertahanan dari aksi-aksi spekulasi dan pelarian kapital (capital outflow), melainkan melenturkan regulasinya dan memfasilitasi mereka.

di negara-negara Eropa, khusunya Inggris, Perancis, dan Jerman, dimana pemerintahnya menyadari bahwa salah satu jalan menyelamatkan ekonomi nasional adalah menggerakkan sektor real. Di Indonesia, respon pemerintah untuk menyelamatkan sektor industri justru lepas tangan, yakni dengan melemparkan pengusaha dan pekerja pada pertikaian tidak berujung.

Data-1

Sumber: The 2008 Legatum Prosperity Index

B. Lapangan Politik

Dalam setahun terakhir, seperti kesimpulan kami, bahwa sistim politik Indonesia tidak banyak berubah. Seperti sebelumnya, sistim ekonomi Indonesia dikontrol oleh sebagian kecil elit, yang basisnya untuk membangun kekuasaan politik adalah kemampuan bertindak yang mereka miliki dalam menguasai sumber-sumber ekonomi (bisnis). Hanya dengan sejumlah uang tertentu jabatan-jabatan politik dapat mereka kuasai. Mereka berkuasa hanya untuk memenangkan kepentingan jangka pendek dan memperkuat kekuatan ekonomi mereka, tanpa menyisakan sedikit tempat untuk memikirkan rakyat.

Tahun 2008, merupakan kelanjutan dari projek neoliberalisme yang dikemudikan pemerintahan SBY-JK. Tanpa menyisakan sedikit celah, kebijakan neoliberal di tahun ini benar-benar digelontorkan bak banjir bah yang datangnya tiba-tiba. Awal 2008, elit politik nasional disibukkan dengan mencuatnya ketidak-adilan dalam kontrak-kontrak migas, seperti blok Cepu dan Natuna D-alpha. Amien Rais, salah seorang tokoh PAN, merupakan tokoh paling keras berteriak menuntut nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan asing, selain beberapa tokoh politik lainnya.

Seolah tak dapat menunggu, ketika krisis energi global mendongkrak harga minyak dunia melewati harga 100 USD, maka pemerintah pun menjadikan alasan ini untuk menaikkan harga BBM. SBY pun mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 30%. Aksi protes dan perlawanan terjadi di hampir seluruh negeri, baik yang digelar mahasiswa, maupun oleh serikat buruh, petani, kaum miskin kota, dan lain-lain. Gelombang aksi menentang kenaikan harga BBM mengundang respon balik pemerintah, berupa aksi kekerasan dan represif kepada sejumlah aktifis mahasiswa. Kampus UNAS, yang merupakan salah satu basis perlawanan, diserbu secara brutal dan biadab oleh polisi atas restu SBY. Demikian pula dengan penangkapan sejumlah aktifis mahasiswa, penggeledahan kantor Tali Geni, maupun kantor Komite Bangkit Indonesia.

Atmosfer politik terus memanas. Di parlemen, respon sejumlah partai atas penolakan rakyat atas kenaikan harga BBM melahirkan inisiatif hak angket. Mayoritas fraksi di parlemen, tentunya dengan tekanan aksi massa di depan gedung DPR, akhirnya meloloskan hak angket. Sementara itu, isu dominasi korporasi asing dalam sektor migas dan lapangan ekonomi lainnya terus dipersoalkan. Meski kutub neoliberal sempat mendapatkan keuntungan politik dari meluasnya penentangan kenaikan harga, dan juga dipersoalkannya dominasi asing di lapangan ekonomi, namun kurang mampu dalam merangkaikannya menjadi semacam persatuan. Sehingga perlahan-lahan, Partai Golkar dan Demokrat dapat berbalik dan mulai merehabilitasi citra politiknya.

Di panggung politik nasional, diantara kutub pendukung neoliberal dan anti neoliberal, terdapat juga kekuatan politik tersendiri, sering menyebut diri “poros tengah”, yang melancarkan maneuver politik tersendiri untuk menjamin kedudukan mereka di panggung politik. mereka aktif mendukung mobilisasi-mobilisasi anti-ahmadiyah, menentang pornografi, dan sebagainya.

Krisis financial di AS, yang kemudian menyebar ke negeri-negeri lain, juga merontokkan ekonomi Indonesia. Sebelum itu, SBY dan tim ekonomi dimabuk optimisme akan pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun terlihat bahwa fakta berbicara lain; dalam sekejap, saham-saham di bursa efek Indonesia berjatuhan, bahkan nilai rupiah sempat melorot. Secara politik, yang cukup menarik adalah ketika sejumlah elit bertikai soal langkah penyelamatan ekonomi. Karena basis kekuatan politik mereka adalah bisnis, maka mereka sibuk berseteru soal rumusan kebijakan yang bisa menyelamatkan bisnis mereka, bukan berbicara dalam kerangka umum kepentingan bangsa. Ketika SBY-JK memilih menyelamatkan Aburisal Bakrie, pendukung neoliberal yang dipimpin Sri Mulyani ngotot menentang. Bakrie mengangkat isu nasionalisme, tapi bukan nasionalisme sesungguhnya, melainkan sejenis modifikasi nasionalisme untuk menyelamatkan kekayaannya yang sedang berguguran. Di lain fihak, penolakan Sri Mulyani bermakna pengabaian peran Negara dalam menyelamatkan Bakrie Resources, salah satu perusahaan batubara nasional, agar terbuka jalan dianeksasi oleh korporasi asing. Akibat krisis financial, kekayaan bakrie merosot akibat rontoknya sejumlah bisnisnya; Saat ini kekayaan Bakrie tercatat tinggal USD 850 juta (Rp 9,35 triliun). Tahun lalu Bakrie, yang menjadi orang pribumi pertama paling kaya di tanah air, masih punya harta USD 5,4 miliar (Rp 59,4 triliun).

Di penghujung masa jabatannya, pemerintahan SBY dan DPR makin agressif pula meloloskan perundangan yang berbau neoliberal. Dalam sebulan saja, DPR mengesahkan dua perundangan neoliberal, yaitu UU Minerba dan UU BHP, yang mana keduanya mendapat penolakan kuat dari masyarakat. Bukan itu saja, kedepan DPR masih akan mengesahkan puluhan perundangan yang berdimensi neoliberal, karena selain desakan dari imperialism, juga karena proses legislasi ini didanai (USAID, Bank dunia, ADB,dll) sehingga dapat menjadi pesangon bagi DPR di akhir masa jabatannya.

Saat ini, pemerintahan SBY-JK sedang berusaha memulihkan popularitas politiknya. Beberapa jalan dilalui, termasuk memenangkan pencitraan lewat media massa (cetak dan elektronik). Partai demokrat begitu bombastis mengajukan iklannya di TV, radio, dan media cetak. SBY juga berani mendorong Aulia Pohan ke penjara, seorang besangnya, untuk mendapatkan pengakuan konsisten memberantas korupsi. Selain itu, SBY juga seolah-olah menekan Bakrie dan Lapindo.

Tapi tetap saja, kegagalan tak bisa ditutupi. Langkah penyelamatan ekonomi mengalami kegagalan. Di bidang politik dan hukum, nampak bahwa pemberantasan korupsi hanya berani menendang lawan politik atau orang-orang dekat yang pantas dikorbankan. Tidak bisa menyentuh birokrasi, terutama kalangan birokrasi pemerintahan. Dan ketika “popularitas” ini perlu di poles, SBY benar-benar alergi dengan aksi protes. Kini, aksi di depan istana tidak boleh menggunakan alat pengeras suara, dengan alasan mengganggu kerja presiden. Tentu ini merupakan alasan klise dan absurd.

Bukan itu saja, setelah refresi menentang kenaikan harga BBM, kembali refresi berkembang intensitasnya di berbagai daerah, terutama pada saat mahasiswa menentang pengesahan RUU BHP. Terjadi bentrokan di berbagai daerah, seperti makasar, Yogyakarta, Malang, Bandung, dan sebagainya. Di Bengkalis, Riau, sebuah aksi kekerasan terhadap petani benar-benar mengerikan. Polisi memborbardir pemukiman penduduk dengan menggunakan napalm, selain mengerahkan pasukan darat sebanyak 700 orang. Akibatnya, 700 rumah hangus terbakar, 200 orang ditangkap, dua terkena tembakan, dan dua orang tewas.

C. Berbicara Soal Kemajuan dan Gerakan

Dalam pemilu 2009, setelah puluhan tahun tidak pernah ada perwakilan gerakan dalam arena elektoral, maka untuk pertama kalinya calon-calon legislative dan senator dari perwakilan pergerakan turut berkompetisi. Papernas sendiri memutuskan berada dibawah bendera Partai Bintang Reformasi (PBR). Secara kuantitas, Papernas mengajukan 590 orang yang tersebar di 11 Partai Politik, yang terdiri dari 31 caleg DPR nasional, 61 caleg DPR propinsi, dan 498 DPRD tk.II. selain itu, mengajukan 4 orang di pemilihan senator (DPD), yaitu kawan Harris Sitorus (Sumatra Utara), Benedictus Adu (DKI Jakarta), Petrus Pice Jehali. SH (Sulawesi Selatan), George Dominggo Rinels Hormat (NTT).

Dalam pilkada, beberapa kandidat yang diperjuangkan gerakan maju dalam pertarungan. Di makasar, kandidat yang diajukan pergerakan lewat jalur independent menempati urutan 4 dari 7 calon, dengan perolehan suara lebih dari 14.000 orang. Di Palu, Aristan, ketua Papernas Sulteng, yang diperjungkan maju dalam pertarungan pilkada kota, meski mendapat dukungan luas dari spectrum gerakan, tapi gagal melalui prose verifikasi.

Dari semua proses kerja politik itu, kita semakin mendapatkan suntikan pengalaman baru dalam arena politik legal yang selama ini mengharamkan keterlibatan kaum pergerakan. Akumulasi pengalaman politik baru ini, setidaknya dalam kesimpulan sementara, menambah luas kemampuan kader-kader pergerakan dalam melewati hambatan-hambatan demokrasi formal dan mengenalkan mereka cara kerja gerakan kepada politisi lain.

Masuknya kaum pergerakan dalam kontestasi politik 2009 memiliki arti penting dalam aspek-aspek berikut;

Pertama, kekuatan progressif seperti pekerja, petani, serta kaum miskin kota, yang tidak pernah diikutsertakan dan malah dikucilkan dalam arena politik di Indonesia selama puluhan tahun, akhirnya bisa kembali masuk dalam institusi tersebut. Beberapa caleg aktifis sukses mengenalkan cara berpolitik tanpa harus mengeluarkan duit, tidak perlu membeli massa, dan yang terpenting, berbagai suara rakyat yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya dibawa masuk oleh caleg dan kandidat dari kaum pergerakan dan rakyat miskin.

Benedictus Adu, seorang sopir angkot, yang menjadi calon DPD dari DKI Jakarta berhasil mengenalkan metode gerakan (advokasi, mobilisasi, dan diskusi politik) dalam arena politik elektoral.

Kedua, kerangka politik di Indonesia yang sebelumnya sepi dengan pertarungan ideologis, program, maupun visi perjuangan, akhirnya berubah sehubungan dengan kemunculan aktifis. PBR sendiri, terlepas ada atau tidaknya pengaruh para aktifis, sekarang ini mulai mengisi kekosongan ideology partai dengan mengajukan konsep sosialisme religius. PBR juga berkali-kali, dan ini juga dilakukan beberapa partai lain, menegaskan soal pentingnya memperjuangkan kemandirian bangsa sebagai syarat memajukan ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Saat ini, kita sedang berkonsentrasi pada cara memenangkan kawan-kawan kita yang tersebar di berbagai daerah pemilihan. Dengan menyertakan metode gerakan, kami yakin bahwa kesulitan-kesulitan dalam perjuangan parlementer akan teratasi, dan sebaliknya, kita dapat melembagakan kerangka politik baru yang lebih berporos pada partisipasi politik rakyat.

Ada sebuah survey, termasuk juga diakui oleh Martha Harnecker, bahwa audio-visual merupakan alat kampanye paling ampuh dalam mempengaruhi persepsi massa. Tidak heran, seperti yang disebutkan dalam survey AC Nielsen, bahwa ada korelasi antara peningkatan belanja iklan dan peningkatan popularitas dan mengalirnya dukungan terhadap partai.

Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.

Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).

Mengatasi hal tersebut, kita (caleg pergerakan) mensiasati hal tersebut, tanpa perlu mengeluarkan biaya iklan yang besar, dengan mencetak ribuan keping CD yang berisi profil, pemahaman soal problem dapil, program, dan komitmen politik caleg.

Arena pemilu 2009, seperti yang sudah diduga, akan menjadi arena pertarungan yang sengit antara kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri bukan saja para elit yang berebut kekuasaan, tapi masuknya caleg-caleg kerakyatan yang menghendaki mengajukan agenda kerakyatan di arena politik lima tahunan ini. hal ini, akan mempengaruhi konstalasi dan perimbangan kekuatan, terutama antara kekuatan yang pro-imperialism dan anti-imperialism.

D. Sikap dan Bentuk Respon Terhadap Krisis dan Pemilu 2009

Seperti disebutkan lembaga survey, sekitar 2 juta-2,5 juta orang terancam terkena PHK pada semester awal 2009. Asosiasi Pertekstilan Indonesia memperkirakan, jika tak ada upaya untuk menyelamatkan industri tekstil nasional, hingga pertengahan 2009 jumlah karyawan tekstil yang akan dikenai PHK mencapai 500.000 orang. Sejauh ini, karyawan tekstil yang dikenai PHK sudah mencapai 15.000 orang.

Ancaman PHK massal, kejatuhan daya beli masyarakat, dan ketidakstabilan ekonomi merupakan isu utama menjelang 2009, serta merupakan persoalan penting yang perlu dijawab oleh calon legislatif dan calon presiden. Partai-partai dan calon presiden kelihatannya mengabaikan hal tersebut, dan tidak fokus menangani masalah tersebut. Dan seperti sebelumnya, partai-partai borjuis paling banter mencoba menyentuh rakyat pada tataran slogan, tapi tidak mengarah pada perdebatan solusi konkret, real, dan praksis. Mereka akan menutupi ketidaksanggupan itu dengan politik uang.

Dalam hal ini, kandidat-kandidat yang diajukan pergerakan sudah dibekali dengan program-program, meskipun masih perlu untuk diperdebatkan, mengenai jalan keluar dari krisis. Program yang kami tawarkan adalah;

Program Darurat;

  1. Menaikkan pendapatan real masyarakat, terutama mengenai komponen upah, harga jual produk pertanian, dan sebagainya;
  2. selain itu, pemerintah harus mengupayakan terus untuk mengontrol harga, terutama harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus mengintervensi harga pasar, serta memperbesar keterlibatan negara dalam mengontrol dan menjalankan distribusi.
  3. memberikan jaminan kesehatan, pendidikan, dan perumahan layak kepada seluruh rakyat;
  4. mendorong negara berinvestasi pada pembangunan infrastruktur publik (jalan raya, listrik, telekomunikasi, pelabuhan, transportasi, dll), selain untuk penyerapan tenaga kerja, juga untuk mendorong sektor real.
  5. nasionalisasi bank-bank yang terancam mengalami kesulitan likuiditas;
  6. menerapkan aturan kontrol devisa guna mencegah pelarian modal (capital outflow), serta memanggil pulang dana-dana hasil ekspor yang selama ini diparkir di bank-bank asing;
  7. Melakukan control terhadap mata uang (Currency Exchange Control - CEC). Harga dollar dipatok untuk periode yang lama dan terlepas dari tingginya angka inflasi yang tercatat dalam ekonomi nasional sebelumnya. Mekanisme CEC akan memberikan pertahanan yang cukup bagi indonesia menghadapi krisis financial, meskipun tanpa melibatkan cadangan devisa.
  8. mendorong kerjasama global dan regional dengan prinsip solidaritas, terutama untuk penciptaan kerjasama ekonomi dan system peminjaman diluar mekanisme Negara-negara imperialis.

Program Strategis;

  1. Cabut seluruh perundangan yang berbau neoliberal, terutama UU Migas, UU minerba, UU SDA, UU Penanaman modal, UU Minerba, UU BHP, UU tentang BI, dan lain-lain.
  2. Menggerakkan sektor real, selain dengan menurunkan suku bunga juga dengan mendorong Negara berinvestasi pada pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga harus mengerahkan intermediasi perbankan untuk membiayai sektor real.
  3. Memajukan tenaga produktif pertanian di pedesaan dengan melakukan beberapa langkah;
    1. kepemilikan tanah/lahan. Tanah-tanah yang kurang produktif karena tidak dikelolah harus didistribusikan kepada petani.
    2. memberikan kredit murah dengan bunga sangat lunak bagi petani. pemerintah harus membangun Bank khusus bagi petani dan kaum perempuan di desa, guna menjamin kapital bisa terarah untuk produktifitas masyarakat didesa.
    3. Membangun industri olahan hasil produk pertanian guna memberi nilai tambah petani dan industri pengadaan alat-alat pertanian seperti festisida, traktor, dan lain-lain. Untuk memberikan akses teknologi modern yang belum sanggup diproduksi didalam negeri, negara mesti mengurangi pajak impor untuk jenis teknologi pertanian tersebut.
    4. Membangun lembaga penelitian, survey, dan pelatihan terhadap petani dalam hal pembibitan, pemberantasan hama, perbaikan kualitas, dan lain-lain.
    5. Menjamin pasokan energi (gas) murah untuk perusahaan-perusahaan pupuk agar terus berproduksi; membuat larangan ekspor gas keluar negeri atau menaikkan pajak/cukai untuk eskpor gas.
    6. Menjamin pasar bagi produk pertanian baik didalam negeri maupun di pasar internasional.
    7. Melakukan intervensi terhadap pasar guna menjaga stabilisasi harga –harga komoditi pertanian agar tetap menguntunkan petani dan masyarakat diperkotaan.
  4. menjamin pasar bagi produk industri tertentu, menerapkan proteksi terhadap jenis komoditi yang masih memiliki daya saing rendah dengan memberlakukan pajak dan cukai yang tinggi pada jenis komoditi yang sama, yang diimpor dari luar negeri. Negara harus membersihkan jalur distribusi dari para penyelundup, mafia, dan agen-agen birokrasi yang korup dan memberikan harga subsidi kepada rakyat agar terjangkau;
  5. Mengambil langkah nasionalisasi terhadap perusahaan pertambangan asing, dimana tekanan awalnya adalah kontrol negara pada sumber daya alam dan menyertakan penaikan “penerimaan” negara.
  6. Memperjuangkan penghapusan utang luar negeri yang jumlahnya mencapai 150 Miliar USD, atau, minimal melakukan negosiasi untuk moratorium (penundaan) pembayaran utang luar negeri sampai batas waktu yang tidak ditentukan (saat rakyat Indonesia telah berhasil keluar dari keterpurukan ekonomi);
  7. menghapuskan sistim kontrak dan outsourcing, serta pemberian jaminan sosial dan standar bekerja yang memadai buat pekerja.
  8. mendorong partisipasi rakyat, terutama dengan penciptaan institusi kerakyatan, yang memungkinkan bagi konsultasi, diskusi, dan perumusan program pembangunan infrastruktur, ekonomi, dll;
  9. memberikan perhatian kepada industri kecil dan menengah dengan memberikan akses kredit mikro, ketersediaan bahan baku murah, dan jaminan ketersediaan pasar. Membangun bank pembangunan untuk memfasilitasi pemberian kredit bagi usaha kecil dan menengah, koperasi-koperasi, maupun industri rumah tangga;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar