Selasa, 23 Desember 2008

Gerakan Mahasiswa Demokratis (Pensdidikan Dasar)

Gerakan Mahasiswa Demokratis *




Gerakan mahasiswa Indonesia yang bangkit kembali dalam tahun-tahun 80-an dan 90-an ini bukanlah suatu hal yang aneh, bila kita mau melihat dengan seksama bagaimana keseluruhan sistem Orde Baru sekarang ini dijalankan. Gerakan mahasiswa yang muncul kemudian, seperti menentang represi dan kesewenang-wenangan yang ada dalam kampus mereka, menentang penggusuran tanah-tanah rakyat, menentang proyek-proyek pemerintah atau pengusaha yang merugikan rakyat, menentang organisasi konservatif (KNPI), menentang kenaikan listrik, menentang pemilu, menentang UU Lalu Lintas, menentang SDSB, serta menentang militerisme, bahkan menen tang pusat kekuasaan serta lain-lain, harus dimengerti bahwa persoalan-persoalan tersebut merupakan cerminan krisis yang terjadi di masyarakat; dari proses sistem kapitalisme yang dija lankan oleh Orde Baru. Gerakan mahasiswa Indonesia yang bangkit kembali dengan mengambil bentuk aksi massa memberikan sumbangan yang penting dalam menghancurkan budaya diam atau "de-militansi"—sebagai hasil dari depolitisasi atau bahasa kerennya: proses pembodohan yang dijalankan Orde Baru. Hasil dari aksi-aksi massa tersebut sekaligus memberikan suatu pendidikan politik yang luas, tidak saja bagi massa yang terlibat dalam aksi melainkan juga meliputi sebagian besar mahasiswa di luar aksi, bahkan di luar mahasiswa itu sendiri (masyarakat luas). Ini bisa kita lihat dengan mara knya "unjuk rasa" yang kemudian juga menjalar di rakyat. Menurut saya aksi mahasiswa ini kemudian direspon dan akhirnya dijadikan contoh sebagai bentuk-bentuk perjuangan yang efektif oleh rakyat. Singkatnya rakyat "belajar politik" dari suatu budaya politik yang dijalankan mahasiswa lewat aksi-aksinya. Tidak aneh kalau aksi massa pun lantas menjadi budaya rakyat. Akan tetapi, kenya taan itu hanya merupakan suatu awal kebangkitan kembali gerakan mahasiswa dari istirahatnya. Kita mengetahui bahwa gerakan maha siswa telah beberapa kali mengalami kebangkitan sejak Orde Baru naik menjadi penguasa di negeri ini. Namun, titik persoalannya adalah ia tidak pernah menjadi sebagai suatu gerakan yang serius bagi terciptanya DEMOKRASI di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak dapat tidak, ia harus mengerti masyarakatnya dan kekuatan-kekuatan sosial penggerak demokrasi di Indonesia.

Gerakan mahasiswa yang mempunyai tujuan bagi terciptanya demokrasi, mau tak mau, harus menyadari bahwa tugas tersebut meru pakan suatu usaha sadar untuk merekonstruksi atau bahkan men transformasikan masyarakat. Oleh sebab itu, para aktivis mahasis wa juga harus mengerti kekuatan penggerak yang bekerja dalam masyarakat dengan kontradiksinya, yang harus ditempatkan dalam kerangka analisa kelas. Setelah mereka mengerti, maka arah bagi gerakan mahasiswa pada akhirnya menjadi penting.

Ada sebagian intelektual kita yang cukup "progresif" mengecilkan arti penting gerakan mahasiswa. Mereka menganggap gerakan mahasiswa merupakan gerakan "anak kecil" yang tidak serius, sehingga tidak ada gunanya "mengurusi" gerakan mahasiswa. Dan kacaunya pandangan mereka ini juga mulai merasuki sebagian kawan-kawan "baru" kita. Kenyataan ini memberikan tugas kepada kita untuk menunjukkan dan membongkar kesalahan pandangan ini. Kekeliruan dari pandangan mereka lebih disebabkan karena mereka memperlakukan basis teori yang mereka miliki sebagai sebuah teori yang "mati" (tidak dihubungkan dengan "praktek" yang hidup). Mereka membutakan pandangan mereka bahwa gerakan mahasiswa yang terus muncul di Orde Baru menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa merupakan kelompok sosial yang penting yang harus "digarap" bagi proses demokratisasi di Indonesia. Mereka "kebingungan" begaimana menghubungkan basis teori mereka dengan peran gerakan mahasiswa bagi gerakan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan. Akhirnya yang mereka lakukan hanyalah mengambil mahasiswa dan mengisolasinya dari gerakan mahasiswa serta untuk dididik bagi lingkaran-lingkaran mereka untuk dijadikan kader-kader mereka. Ini dapat dilihat pada "LSM-LSM" (yang mengaku progresif) yang berkembang di Indonesia. Saya ulangi sekali lagi bahwa pada intinya hal ini disebabkan oleh kurangnya keterlibatan mereka pada kebangkitan kembali gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Sehingga mereka tidak dapat merespon kebangkitan gerakan, dan mengerti tugas-tugas yang harus mereka lakukan bagi proses demokratisasi di Indonesia.

Kapitalisme Negara Orde Baru

Kapitalisme yang berkembang di Indonesia merupakan kapitalisme yang datang/dibawa/dicangkokkan oleh kolonialisme. Hal ini selanjutnya mempengaruhi karakter dari kelas-kelas yang muncul (lebih khusus lagi kelas borjuasinya). Kekhususan ini menyebabkan banyak bermunculan sebutan-sebutan yang bermacam-macam sebagai hasil dari perilaku sosial-ekonomi, serta karakter politik mereka. Kelas borjuasi yang muncul banyak dianalisa, karena asumsi yang sifatnya mendasar bahwa kelas borjuasilah yang akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi. Kelas inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dan pembela kepentingan dari seluruh golon gan masyarakat dalam proses menuju terbentuknya masyarakat demokratis. Bagi saya, ini hanya merupakan sebuah ilusi belaka. Dalam kenyataannya, asumsi bahwa kelas borjuasi akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi merupakan asumsi yang sama sekali tidak membumi dalam sejarah kapitalisme di Indonesia. Lalu pertanyaan yang timbul: bila bukan borjuasi, maka kelas sosial manakah yang akan menjadi kekuatan pendorong demokrasi? Sehubun gan dengan ini, penting sekali melihat sekilas teori tentang negara.

Dalam teori negara "klasik" dikatakan bahwa negara merupakan refleksi dari masyarakat, yang muncul sebagai produk dari tak terdamaikannya kontradiksi kelas. Banyak yang mengeritik teori ini, yang semuanya menurut Cokro hanya "didasarkan atas logika sistem politik yang ada." Bahkan ia mengatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang paling dikuasai oleh kelas kapi talis, kelas yang berkuasa (Cokro,"Kediktatoran Kelas dan Asal Usul Pemerintahan Orde Baru, Progress, Australia, 1992). Ia mencontohkan bila para "penguasa" mati, perusahaan-perusahaan (modal) yang ia miliki akan jatuh ke keluarganya bukan ke negara.

Ia meletakkan teori perjuangan kelas merupakan konteks terbaik dalam menganalisa negara Indonesia. Tetapi, minimal yang harus kita terima dari teori-teori negara adalah bahwa negara tidaklah netral, ia adalah penjaga dari sistem yang menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat, sementara sebagian besar lainnya yang tidak berpunya hidup di bawah penindasan sistem kapitalisme ini. Kembali kepada teori negara klasik, negara merupakan alat dari kelas penguasa untuk menindas. Alat (negara) mengesahkan penindasan dengan bantuan lembaga pemaksa yang paling utama yaitu: tentara, pengadilan dan penjara, sehingga apa yang disebut dengan negara kapitalis merupakan negara yang berfungsi sebagai alat untuk melipatgandakan modal.

Seperti telah dikatakan di atas bahwa kelas borjuasi atau kapitalis atau bahkan kelas menengah secara keseluruhan tidak akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi di Indonesia, karena kebanyakan kelas borjuasi justru sering muncul (menyatu) dari dalam negara (ingat: negara indonesia adalah negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis!). Kelas kapitalis dan juga kelas menengah (borjuis kecil) bahkan menguatkan atau mendukung stabilitas ekonomi untuk proses pertumbuhan ekonomi kapitalistis melalui sistem politik yang ANTI DEMOKRASI. Jadi siapakah yang paling berkepentingan dan yang paling mampu menciptakan demokrasi di Indonesia?

Gerakan Mahasiswa dan Gerakan Buruh: Gerakan Demokrasi

Kita (mahasiswa) menyadari bahwa kita tidak dapat mengharap kan kelas borjuasi atau kelas menengah. Yang saya maksudkan kelas menengah di sini adalah para manajer, kaum profesional, teknokrat dan juga dari kaum sekolahan. Kelas menengah bagaimanapun tidak akan menghasilkan kekuatan yang efektif di orde baru ini. Apalagi depolitisasi serta ketiadaan basis material mereka untuk merespon deregulasi dan liberalisasi ekonomi orde baru menyebabkan mereka cenderung untuk mundukung kekuasaan atau paling "mentok" yang muncul pada kelas menengah hanyalah rasa nasionalisme dan rasa humanisme ketimbang demokrasi. Mereka mungkin saja akan memainkan peranan efektif bila terjadi "perpecahan" diantara elit penguasa, tetapi hal ini adalah utopis belaka, karena biasanya perpecahan di tingkat elit akan benar-benar menjadi kenyataan bila ada gerakan dari bawah akan memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia, sedangkan posisi kelas mahasiswa "tidak jelas" serta kenyataan historis gerakan mahasiswa dalam masa orde baru menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak bersatu dengan kekuatan mayoritas lain yang ada di masyarakat. Namun, persoalannya ialah dengan siapakah kita harus bersatu dan bersama-sama berjuang menciptakan demokrasi di Indonesia?.

Pada saat sekarang tuntutan terhadap liberalisasi dan demok ratisasi kebanyakan dipimpin dari kaum intelektual maupun kaum profesional tertentu.

Mereka ini terdiri banyak diwakili dari dunia profesi (LBH), kaum intelejensia, PSI (yang merupakan wakil-wakil dari kaum sosial-demokrat Indonesia), Petisi 50 dan Muslim (ICMI dan NU dengan Abdurrahman Wahidnya). Tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memaksa tuntutan mereka terpenuhi. Dan mereka ini sebenar-nya sangat lemah dan secara tak terelakkan mereka menjalankan politik aliansi dengan salah satu atau sejumlah faksi tertentu yang saling bertikai di kalangan elit di pemerintahan (demi menaikkan posisi tawar menawar mereka) dan menjalin (baca: mengkooptasi) hubungan gerakan mahasiswa. Dan hubungan ini, mau tak mau, adalah hubungan subordinasi, dimana yang mencuat adalah figur dari tokoh oposisi politik dan bukan tuntutan atau program politik mereka bagi terbukanya ruang-ruang demokrasi di Indonesia.

Seperti telah dikatakan di atas bahwa mereka, secara struktural, tidak mempunyai kekuatan. Dalam hal ini kita akan melihat siapakah yang menjadi tenaga penggerak utama dalam proses demok ratisasi di Indonesia. Arti penting tenaga penggerak utama di sini dimaksudkan bukan hanya terletak pada ketertarikan/kepentin gan mereka terhadap demokrasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah mereka mempunyai kekuatan yang sanggup memaksa negara terpaksa menyelenggarakan sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang saya maksudkan disini jangan dipandang hanya dari segi aturan formal belaka. Demokrasi harus nyata, yaitu kebeba-san berbicara, berserikat dan—bahkan—berpartai, yang dalam abstraksinya adalah memunculkan kekuatan-kekuatan di Rakyat sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan sewenang-wenang kepada Rakyat. Parlemen (baca: DPR dan MPR) juga harus lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah dan harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi juga selalu beriringan dengan perjuangan di tingkat ekonomi rakyat, dan inilah alasan mengapa yang paling berkepentingan dan mempunyai kekuatan untuk mencapai masyarakat demokratis adalah “Rakyat”.

Rakyat yang dimaksud di sini lebih dikhususkan pada kelas buruh (buruh dibagi-bagi menjadi buruh tani, manufaktur, jasa dan lain-lain), tetapi yang paling mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan demokrasi pada sistem kapitalisme yang dijalankan Orde Baru adalah buruh manufaktur, ini ditambah lagi dengan krisis kapitalisme dunia yang mengharuskan mereka memberi tekanan terhadap kondisi perburuhan di Indonesia bagi kepentingan kapital mereka. Kekuatan buruh manufaktur sebagai kekuatan demokrasi di masa Orde Baru dapat disamakan dengan posisi buruh perkebunan pada masa kolonial. Pada saat sekarang jumlah buruh manufaktur telah mencapai 10,5 juta, walaupun dari segi jumlah buruh tani menempati proporsi lebih dari 40% dari jumlah seluruh angkatan kerja. Kenyataan bahwa pada saat sekarang mereka masih belum terorganisasi dan gerakannya masih spontan, itu merupakan hasil depolitisasi (pasifikasi) Orde Baru. Dan kekurangan ini harus kita kembalikan kepada kita yang masih sangat kurang menjalin hubungan yang "erat" dengan mereka.

Gerakan mahasiswa beberapa tahun belakangan ini juga telah mengambil isu-isu kerakyatan sebagai agenda gerakan seperti kasus-kasus penggusuran tanah baik oleh proyek pemerintah maupun swasta, kenaikan harga listrik, serta undang-undang lalu lintas dan sebagainya. Tetapi yang harus disadari adalah bagaimana memunculkan dan membangun kekuatan mahasiswa dan yang lebih penting lagi adalah membangun kekuatan rakyat yang telah kita ketahui sebagai satu-satunya kekuatan utama demokrasi. Tidak ada cara lain bagi perjuangan yang sulit dan panjang ini kecuali dengan berhubungan langsung dengan mereka, mengorbankan waktu kita untuk mendengarkan, belajar dan memecahkan persoalan-persoa lan yang dihadapi oleh mereka secara bersama-sama, yang selanjut kan dapat menyadarkan rakyat akan arti pentingnya pendirian organisasi yang membela kepentingan mereka. Kita tahu bahwa selama ini rakyat tidak mempunyai alat/organisasi untuk memper baiki kondisi kehidupan mereka. Sedangkan kebebasan berorganisasi dihambat/dilarang di negeri ini. Sehingga tuntutan utama bagi proses demokrasi di Indonesia (Orde Baru) adalah KEBEBASAN BAGI RAKYAT UNTUK MENDIRIKAN ORGANISASI. Tuntutan ini harus menjadi tema utama bagi gerakan demokrasi di masa Orde Baru. Tetapi tuntutan ini tidak boleh hanya disuarakan oleh mahasiswa tetapi yang lebih penting lagi adalah tuntutan oleh rakyat sendiri yang telah sadar akan pentingnya organisasi bagi perjuangan memperbai ki kondisi sosial ekonomi dan politik mereka. Oleh karena itu tugas yang paling berat dan panjang adalah menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat, terutama gerakan buruh serta proses pendidikan politik rakyat dan ini merupakan salah satu tindakan politik yang selama ini telah dihalang-halangi sekian lama. Protes-protes mahasiswa dan buruh menjadi mata rantai bagi per juangan demokrasi. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa untuk melakukan tugas ini tidak ada cara lain selain berhubungan langsung dengan mereka.

Melihat kasus-kasus yang muncul di rakyat, khususnya di buruh, pada saat sekarang telah menunjukkan bahwa mereka siap menjalankan tugasnya sebagi kekuatan utama bagi proses demokratisasi.

Melihat kasus-kasus pemogokan yang terus bertambah sejak tahun 1990, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tertarik pada tuntutan upah, tunjangan dan lain-lain yang sifatnya ekonomis belaka tetapi mereka tertarik pada kebebasan berbicara, berserikat dan lain-lain. Ini dibuktikan dengan banyaknya tuntutan untuk pembentukan SPSI juga pembubaran SPSI. Dalam kasus yang pertama menunjukkan bahwa mereka telah sadar akan pentingnya organisasi perjuangan mereka, sedangkan yang kedua telah lebih sadar bahwa SPSI bukanlah organisasi yang dapat membela kepentingan mereka. Dan kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh SBSI untuk menuntut diakuinya\disahkan SBSI sebagai serikat buruh diluar SPSI. Apakah SBSI nantinya akan membela kepentingan buruh atau hanyalah akan menjadi serikat buruh yang tidak berbeda dengan SPSI akan dapat ditentukan di kemudian hari. Di samping itu terlihat budaya politik buruh juga telah maju. Dalam pemogokan, mereka telah mengerti kekuatan-kekuatan yang dipunyai mereka; untuk kepentingan siapakah militer ikut serta dalam setiap kasus pemogokan buruh, contoh dari keterlibatan militer ini adalah kasus pembunuhan Marsinah yang membawa reaksi dari berbagai pihak sehingga akhirnya pemerintah terpaksa mengahapuskan peraturan yang mensahkan keterlibatan militer dalam konflik buruh dan pengusaha; aksi-aksi mereka juga dilakukan tidak hanya di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tetapi juga pada lembaga-lembaga negara seperti Depnaker, DPRD, DPR bahkan rally dengan aksi turun ke jalan; budaya politik dalam aksi-aksi mereka juga hampir mirip dengan budaya politik dari gerakan mahasiswa misalnya adanya poster, spanduk, yel-yel, mengundang wartawan dan lain-lain; yang semuanya menunjukkan bahwa mereka telah siap menjadi motor demokrasi.

Jadi tugas mendesak dari gerakan mahasiswa adalah bagaima-na menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat dan oleh kare-nanya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ini adalah bagaimana membangun kekuatan gerakan mahasiswa dengan secara politis dan harus terus didorong hingga pada level organisasional serta mengkaitkannya dengan gerakan rakyat.

Mendirikan dan membangun organisasi demokratis gerakan mahasiswa secara nasional yang kuat, yang terdiri dari berbagai serikat-serikat mahasiswa yang telah terbentuk sekarang ini di barbagai daerah merupakan langkah yang tepat. Sekedar contoh dapat disebutkan disini seperti SMS (Solidaritas Mahasiswa Semar ang), SMY (Serikat Mahasiswa Yogyakarta, SMJ (Solidaritas Maha siswa Jakarta), dan IMS (Ikatan Mahasiswa Solo) serta KPMB (Kesatuan Pergerakan Mahasiswa Bandung). Keseluruhan organisasi mahasiswa diatas terus bertahan dan terus melakukan aksi-aksi walaupun terjadi penangkapan-penangkapan dan hukuman terhadap anggotanya. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa diantara organisasi-organisasi tersebut telah terjalin hubungan yang terus dibina dan mengarah ke penyatuan gerakan mahasiswa dan sentral organisasi gerakan mahasiswa secara nasional. Hal ini dapat dilihat dalam aksi-aksi bersama (misalnya dalam kasus golput di Semarang maupun kasus pengadilan mahasiswa ISTN di Jakarta) maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Tuntutan terhadap kebutuhan sentral organisasi gerakan mahasiswa secara nasional merupakan tuntutan yang muncul sebagai hasil dari kebangkitan kembali gerakan mahasiswa dan gerakan-gerakan demokrasi lainnya. Jadi tugas mendesak gerakan mahasiswa bagi proses demokrasi di Indone sia adalah terbentuknya sentral organisasi mahasiswa (aksi FAMI merupakan tindakan politik yang patut dihargai. Kekurangan FAMI hanyalah bagaimana menyesuaikan besarnya tuntutan dengan kekuatan yang dimiliki).

Tugas utama dari sentral organisasi mahasiswa ini adalah mengangkat isu-isu kerakyatan (lebih terutama isu-isu buruh, karena pada saat ini merekalah yang paling maju) disamping isu- isu yang berhubungan dengan kepentingan sektor mereka (baca: mahasiswa) dan isu ini biasanya efektif sebagai langkah awal untuk menggalang massa di kampus. Bentuk gerakan lain dari gerakan mahasiswa ini adalah gerakan turun ke rakyat (apalagi bagi mahasiswa yang telah bukan menjadi mahasiswa lagi baik karena Drop Out, keluar sendiri maupun yang telah mendapat gelar sarja nanya). Persoalan untuk mewujudkan cita-cita ini justru ada pada mahasiswa itu sendiri, apakah ia tetap bersikeras untuk terus bertahan dengan sektarianisme mereka (baik regionalisme maupun sektarian isu sektor mahasiswa saja), elitis mereka dan juga karakter dari bojuis kecil mereka yang "enggan" menjalin hubungan dengan rakyat dan hidup bersama rakyat.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa menjadi penting ketika ia dapat bersama-sama rakyat (terutama buruh) menuntut kebebasan berorganisasi sebagai penjabaran kongkret tuntutan demokrasi di Indonesia serta menjalin "hubungan yang akrab" dengan mereka. Dengan berhubungan dengan rakyat maka akan "menguatkan" komitmen serta konsistensi mereka terhadap perjuan gan demokrasi bahkan setelah mereka lulus atau sudah bukan maha siswa lagi. Dan kasus-kasus "larinya" mereka ke institusi- institusi yang tidak berbasis massa (diantaranya LSM-LSM) yang sekaligus membawa pengaruh berkurangnya/turunnya praktek mereka dalam melebur dengan massa, dalam memperjuangkan demokrasi dengan metode-metode massa, akan dapat dihindari. Selanjutnya setelah proses ini berhasil dilewati maka dibutuhkan suatu organisasi yang dapat menjadi jembatan bagi terjadinya persatuan antara gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa sebagai gerakan demokrasi di Indonesia.

Dengan bersatunya gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat maka perbedaan-perbedaan antara mahasiswa dan buruh atau rakyat secara keseluruhan akan menjadi semakin kecil yang selanjutnya akan lenyap dan terbentuknya program tuntutan politik demokratis: menghapuskan otoriterisme Orde Baru, yaitu direbutnya kebebasan politik bagi masyarakat sipil—kebebasan organisasi, pawai, mendirikan organisasi, suratkabar, menulis, dll.

Setelah proses ini tercapai maka perjuangan demokrasi akan merupakan kenyataan. Akhirnya tidak beralasan bagi sebagian "intelektual" kita yang "keras kepala" yang mengecilkan arti penting gerakan mahasiswa, dan juga bagi mahasiswa yang tetap menolak untuk berhubungan dengan kelas yang paling mempunyai kekuatan untuk mendorong demokrasi.

Akhir dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa proses yang diuraikan diatas tidak mudah. Ia akan meminta kerelaan waktu, materi bahkan hidup kita sendiri. Dan yang lebih penting lagi kita harus dapat menghilangkan sifat sektarianisme kita. Kita telah melihat kawan-kawan kita yang ditangkap, dimasukkan dalam penjara serta dikeluarkan dari kampusnya. Kita juga melihat kawan kita yang hilang satu persatu—demoralisasi, dekadensi, dan menyerah—tetapi kita juga melihat munculnya beratus-ratus kawan-kawan baru kita yang lebih maju dan siap terhadap tugas mulia, suci dan mendesak ini. Oleh karena itu wajar diakhir tulisan ini saya teriakkan HIDUP GERAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA !!!.



* Dikeluarkan Oleh Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar