Jumat, 26 Desember 2008

Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal) 1968 (Materi Anggota I) LMND Semarang

(Materi Anggota I) LMND Semarang

Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal) 1968

Oleh Doug Lorimer

Revolusi Prancis di tahun 1968 dimulai pada bulan Desember 1967 dengan pemogokan delapan sekolah tinggi/lanjutan (setingkat SLTA) untuk mendukung sebuah demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial. Aksi tersebut diiukuti oleh sekolah-sekolah lainnya di bulan Januari 1968, mereka (para demonstran), di aksi lanjutan ini, melakukan protes atas dikeluarkannya para aktivis dari sekolah.

Para siswa yang dikeluarkan adalah anggota dari The Jeunesses Communistes Revolutionnaires (JCR), sebuah organisasi pemuda sosialis revolusioner yang bergabung dengan Internasionale ke Empat.

JCR, yang mengadakan konferensi yang di hadiri 120 aktivis kampus dan sekolahan di bulan April 1966, adalah sebuah kekuatan politik sentral dalam radikalisasi di kalangan mahasiswa dan pelajar (selanjutnya disebut studen) Prancis.

Radikalisasi ini dipenuhi dengan membesarnya perasaan tidak puas atas sistem pendidikan yang ada.

Dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ada perkembangan yang cukup mencolok dari mahasiswa yang ada di Universitas-universitas di Prancis: dari 123.000 di tahun 1946 menjadi 514.000 ditahun 1968. Dalam buku Revolusi Prancis 1968 yang diterbitkan di tahun yang sama, jurnalis koran London Observer Patrick Seale dan Maureen McConville menjelaskan konsekuensi dari hal tersebut:

Jumlah tekanan yang besar (the sheer persure of number) menghapuskan segalanya. Dibawah beban, universitas-universitas, dan terutama sekali Sorbonne, mengubah karakter mereka dari klub kecil yang elitis menjadi inefisien, pabrik yang jorok dari pendidikan, dimana semuanya dikorbankan untuk problem kecil yang melibatkan semua orang…”

Ketika kondisi ini menjadi basis untuk pembesaran dari ketidakpuasan, ada sikap oposisi terhadap perang yang dilakukan imperialis untuk melawan revolusi Vietnam, yang mana hal tersebut merubah ketidakpuasan-ketidakpuasan menjadi sebuah radikalisasi yang massif melawan masyarakat borjuis sebagai kesatuan.

Seale dan McConville memberikan penjelasan yang sangat gamblang atas peranan Gerakan Anti Perang Vietnam dalam perkembangan aktivitas politik para studen. Mereka menulis:

Salah satu dari pemandangan yang mengejutkan dari Revolusi Mei adalah ketika para studen meneriakkan slogan: KEKUASAAN ADA DI JALANAN BUKAN DI PARLEMEN! Ini adalah sebuah fenomena yang membuat pemerintahan barat menggigil: ini semua adalah sebuah penolakan atas institusi-institusi politik yang sangat elitis dan nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka…”

Dari bulan Desember 1966, serombongan Comites Vietnam lyceens (CVLs) – Komite Sekolah untuk Vietnam--dibentuk di Prancis. Mereka adalah bagian kecil dari kelompok (yang) berselisih dengan organisasi sekolahan Partai Komunis Prancis (CPF)…karena mereka berpendapat kebijakan CPF atas Vietnam sangat jinak atau moderat sekali…”

Partai Komunis (selanjutnya kita sebut CP), seperti Partai Stalinis lainnya di dunia, berpihak pada sikap “perdamaian”yang abstrak atau negosiasi, dari pada menyuruh para imperialis untuk minggat dan membiarkan penduduk Vietnam untutk menentukan nasibnya sendiri.

Seale and McConville menuliskan bahwa CVLs telah diinisiasi dan di gabungkan kedalam Committee Vietnam National (CVN):

Pada musim gugur tahun 1966, JCR dan sekutu-sekutunya, seperti beberapa “Castrois”, the Parti Socialiste Unifie (PSU), dan sebuah kelompok sayap kiri yang melepaskan diri dari grup sosialis, membentuk sebuah organisasi front Vietnam yang bertujuan untuk mendapatkan opini publik yang lebih besar. Organisasi tersebut bernama Committee Vietnam National (CVN)…beberapa (a litter) komite CVN tumbuh di sekolah dan, meskipun beroposisi dengan kepala sekolah, mereka mampu membuktikan kesuksesan-nya dalam pemobilisasian massa. Karena hal tersebutlah kubu politik sayap kiri memutuskan untuk memobilisasi mereka dalam setiap aksi-aksi politik.

Dari komite-komite sekolah untuk Vietnam itulah CALs (semacam serikat pelajar radikal) terbentuk. “CVLs”, dijelaskan oleh Seale dan Mconville, ”menyediakan infrastruktur bagi pembangunan CALs, dari protest mengenai Vietnam menjadi aksi-aksi terhadap persoalan-persoalan yang ada di Prancis secara spesifik”.

Berikut penjelasan dari proses ini:

Serikat Buruh Prancis, UNEF (serikat mahasiswa nasional) dan serikat pelajar mengadakan aksi mogok pada 13 Desember 1967. Aksi ini dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial. Yang mengejutkan dalam aksi ini adalah bergabungnya hampir separo penduduk kota Paris…Di bulan Januari 1968, Roman Goupil-seorang pelajar yang masih berumur 16 tahun- yang mengorganisir aksi di Lycee Condorcet, dikeluarkan dari sekolah dengan alasan dia telah menghasut kawan-kawannya agar meninggalkan kelas dan bergabung dalam aksi..para pemimpin dari CVLs berdiskusi melalui telepon dan membahas rencana mereka selanjutnya untuk menyikapi kasus ini. Mereka memutuskan untuk mengadakan aksi, ratusan massa berpartisipasi dalam aksi tersebut dan meriakkan yel-yel tuntutan tentang kekebasan dalam berekspresi (Freedom of expression in the lycees), yang tampaknya yel-yel tersebut sangat mudah untuk dipahami seperti yang diyakini oleh para pemimpin komite…”

Tanggal 22 Maret 1968 polisi menangkap lima orang aktivis anti-perang setelah peristiwa pemboman Bank Amerika di Paris. Dan di siang yang sama ratusan mahasiswa menduduki gedung admisnistrasi di Nanterre untuk memprotes penahanan tersebut. Kemudian Dekan merespon itu semua dengan menghentikan semua kegiatan perkuliahan. Semenjak kejadian itu tiada hari tanpa aksi dan demonstrasi di Nanterre.

Sebuah kampanye untuk memboikot ujian di luncurkan. Tanggal 2 dan 3 Mei direncanakan sebagai “Hari Studi Anti-Imperialis”di Nanterre. Sekali lagi, penguasa kampus mengalami kepanikan dan akhirnya mereka menutp kampus.

Tanggal 3 Mei, para mahasiswa di Sorbonne dan CALs di beberapa sekolah atas di Paris menyatakan solidaritasnya atas kejadian yang menimpa kawan-kawan mereka di Nanterre. Dan di sore yang sama ratusan mahasiswa dan pelajar yang melakukan demonstrasi harus berlarian untuk menghindari tindakan brutal dari polisi.

Seale dan McConville menulis:

Pertempuran jalanan di 3 Mei, yang mengikuti invasi dari polisi ke Sorbonne, mengakibatkan effek yang sangat hebat bagi orang-orang muda. Kegiatan di kelas-kelas menjadi terhenti karena para pemuda itu ingin mendiskusikan situasi yang sedang terjadi, kemudian mereka mulai menggabungkan diri dengan demonstrasi-demonstrasi yang ada, walaupun banyak juga yang terluka setelah berpartisipasi dalam demo-demo tersebut. Tanggal 10 May CALs mengadakan aksi mogok serentak seharian penuh di Paris. Aksi ini diikuti kurang lebih 8-9 ribu partisipan, mereka berjalan untuk menemui senior mereka yang sudah lebih dulu melakukan aksi besar dan berakhir pada barikade…”

Setelah Sorbonne diduduki, CALs mengambil alih Grand Amphitheathre untuk rapat umum di 19 Mei. Dan setelah pertemuan tersebut mereka memutuskan untuk mengadakan aksi mogok serentak dan menduduki sekolah-sekolah. Hari selanjutnya gerakan ini diikuti dengan massa yang lebih besar lagi, guru-guru mulai bergabung dan menghabiskan malam-malam mereka bersama-sama dengan para demonstran. Komite-komite juga mengdakan diskusi-diskusi yang tidak hanya membahas tentang problem sekolah dan kampus saja tapi juga membahas permasalahan-permasalahan politik, dengan topik-topik seperti perjuangan studen di eropa, aturan-aturan kampus di masyarakat, jaringan buruh-studen, dll…”

Hasil yang sama juga didapatkan oleh para pemimpin-pemimpin mempunyai political advanced di kampus selama pendudukan itu.

Tapi sebagaimana Seale dan McConville berkomentar di bukunya:

Para buruh tidak bergabung dengan aksi protes nasional yang dilakukan oleh studen, meskipun kejadian Mei mempunyai effek yang sangat signifikan bagi ledakan-ledakan studen di Berlin, Roma atau Buemos Aires. Benar-benar situasi yang sangat kontradiktif…dimana para studen memberikan sesuatu yang dicontoh secara cepat oleh kawan-kawan mereka di lain negara, membawa krisis ini ke level yang lebih tinggi. Akan tetapi para pekerja tetap dengan tenang bekerja dan menunci gerbang mereka rapat-rapat…”

Di tanggal 7 Mei, 30.000 menduduki jalan-jalan di kota Paris selama lima jam penuh, menuntut agar kampus dibuka kembali dan para aktivis yang ditahan di bebaskan.

Sebuah pelajaran bagi massa aksi berhasil dipetik di tanggal 9 Mei di daerah Latin Quarter, daerah sekitar Sorbonne. Ketika itu massa memaksa untuk bertahan sampai besok, jumat 10 Mei, dan kejadian itu menjadi terkenal dengan sebutan malam barikade-barikade (night of barricades) ketika 35.000 demonstran merusak barikade dan terjadi perang batu dengan CRS (polisi anti huru-hara Prancis).

Sekitar 400 studen masuk rumah sakit. Dan banyak lainnya yang terluka akibat tindakan CRS. Meskipun begitu, para studen tidak kalah. Masyarakat mengecam tindakan brutal polis-yang ditayangkan oleh stasiun televisi- dan mendesak pemerintah untuk memenuhi tuntutan studen.

Tanggal 11 Mei, para pemimpin buruh dari tiga konfederasi serikat buruh merespon opni publik yang sedang berkembang atas tindakan represif yang dilakukan polisi, dan mereka merencanakan aksi mogok nasional selam 24 jam penuh yang akan diadakan pada hari senin tanggal 13 Mei.

Di hari itu sekitar satu juta buruh dan studen berjalan menuju kota Paris. Kontingen studen secara eksplisit menyatakan untuk mengakhiri kepemimpinan rezim semi bonarpatis Charles de Gaulle sambil menyanyikan lagu “sepuluh hari sudah cukup”. Bendera Tricolore diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan dan diganti dengan bendera MERAH. Akan tetapi aksi di 13 Mei ini tidak direspon lebih lanjut oleh para aristokrat-aristokrat serikat buruh dan mereka pun kecuali perintah untuk membubarkan diri.

Bagaimanapun, aksi para pekerja tersebut telah membesarkan hati para studen, dan sekita 20-25 ribu buruh bertemu dan memutuskan untuk bergabung dengan para studen dan menguasi Sorbonne.

Tanggal 14 Mei para pekerja kembali ke pabriknya masing-masing, tapi mereka kembali dengan rasa percaya terhadap kekuatan dari mobilisasi massa. Kejadian ini terutama sekali dialami para buruh-buruh muda, yang banyak dari mereka telah bergabung dalam aksi protes studen mulai tanggal 3-10 dan ikut bertempur bersama studen di malam barikade.

Secara spontan, para pekerja mulai mengambil alih pabrik. Di 14 Mei para pekerja pabrik SudAviation di Nanterre mengunci manajer di ruang kerjanya dan menyatakan mereka telah mengambil alih pabrik.

Dihari yang sama, para pekerja pabrik Renault meninggalkan peralatannya dan mendeklarasikan perebutan pabrik. Besoknya mogok menjalar ke dua pabrik Renault l;ainnya dan sorenya pabrik terbesar Renault di Parisian suburban dari Biliancout tidak bisa menjalankan prose produksi karena 30 ribu pekerjanya melakukan aksi mogok.

Dari kejadian tersebut, aksi mogok terjadi di hampir seluruh daerah di Perancis. Sebagaimana yang dikatakan seorang buruh muda Renault: “Para student memulai kereta berjalan, dan kita berterima kasih. Ketika kita melihat kereta berhenti dan akan mulai berjalan lagi, kami mulai berelompatan unutuk naik”

Dalam waktu seminggu aksi mogok ini telah melibatkan 10 juta dari 15 juta pekerja yang ada di Prancis.

Perlawanan massa studen berperan sebagai sebuah detonator dalam sebuah pemberontakan massif para pekerja. Tapi sebuah detonator tidak akan bekerja kecuali ada bahan yang berpotensi sebagai bahan peledak. Apakah bahan yang berpotensial sebagai bahan peledak itu?

Ketika negara-negara industri kapitalis mempunyai pengalaman sedikitnya selama dua dekade dari pemtumbuhan ekonomi yang berlangsung secara pesat, kesenjangan sosialpun semakin lebar. Sebanyak satu juta orang dan hampir separo dari penduduk Prancis yang mempunyai pendapatan, dibayar dengan upah yang sangat rendah yang mana pendapatan tersbut hanya mencapai satu level diatas level subsistensi.

Selain itu, di 1968 lebih dari satu juta orang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur, kesemuanya itu memukul perasaan buruh-buruh muda. Di Burgundi, sebagai contoh kecil, 25 % pemuda di bawah usia 25 th menjadi pengangguran.

Hak berserikat di pabrik-pabrik diabaikan. Satu-satunya jalan untuk mengekspresikan ketidakpuasan adalah melalui aksi-aksi massa. Tahun 1967, di pabrik Renault di Le Mann dan Caen terjadi perang batu dengan polisi selama terjadi pemogokan.

Sebagaimana diamati oleh Seale dan Mc Convile: “Para pekerja menolak untuk mengadakan negosiasi, dan menggunakan cara-cara yang lebih keras. Ini berarti sebuah upaya pengambilalihan…”

Ketika mengambil metode aksi massa, para pekerja menggerakkan sebuah revolusi sosial yang masih yang mana mereka mempunyai potensi revolusioner yang jernih.

Ini semua adalah hasil dari fomat-format yang dibikin oleh komite-komite aksi massa yang ada di Paris. Mereka tidak hanya bermunculan di sekolah-sekolah, universitas-universitas, kantor-kantor pemerintahan, asosiasi profesional, dan tempat-tempat kerja, tapi juga di daerah-daerah pemukiman.

Menurut Seale dan Mc Conville, “Apa yang menjadi gambaran umum mereka…adalah sebuah ide tentang revolusi yang harus kamu lakukan sendiri, tanpa harus meninggalkan yang lainnya. Itu semua adalah keinginan untuk terpimpin dalam aksi-aksi ekstraparlementer”

Gerakan ini mencapai puncaknya di minggu terakhir di bulan Mei, ketika terdapat sekitar 450 komite yang ada di Paris (belum daerah lainnya). Bagaimanapun, mereka tetap terlokalisir dan hanya kehilangan koordinasi di kota-kota yang mempunyai basis besar.

Di luar Paris perkembangan yang sama juga terjadi. Yang paliang bagus adalah apa yang terjadi di Nantes, utara Brittany di 23 Mei. Sebuah komite sentrak pemogokan- yang terdiri dari serikat buruh, petani dan studen-mengadakan aksi di balai kota, dan mendeklarasikan dirinya sebagai penguaa baru kota praja tersebut.

Dan di gedung-gedung sentral pemerintahan, terutama di kota Paris, sudah ditinggalkan oleh para penghuninya, hanya ada para penjaga pintu dan polisi yang kekuatannya sangat kecil.

Atas perkembangan ini, Sean dan Mc Conville menulis: “Pemogokan yang terjadi di Nantes berubah dari yang awalnya sebuah aksi protes menjadi aksi revolusi. Disana muncul embrio-embrio pengganti institusi tua masyarakat borjuis, yang mana itu semua diparalelkan dengan aksi mogok…”

Selama seminggu, dari 24-30 Mei, pemerintahan De Gaulle mengalami kegoncangan yang cukup hebat. Akan tetai sayangnya CP dan pemimpin-pemimpin serikat buruh menolak untuk melakukan penggantian-atau sebuah insureksi-pemerintahan.

Dan yang lebih parah lagi, ketika 10 juta pekerja sedang menjalankan aksi mogok, para aristokrat-aristokrat serikat buruh ini menolak rancangan diadakannnya sebuah aksi mogok nasional.Mereka membatasi diri hanya pada tuntutan ekonomis seperti kenaikan upah, jam kerja yang lebih pendek, dll. Bahkan mereka bekerja sama dengan rezim De Gaulle dengan mengatakan studen-studen yang radikal sebagai provokator.

Di 29 Mei, CP dan pemimpin federasi serikat buruh (CGT) membuat aksi sejuta massa di jalan-jalan kota Paris dimana, untuk pertama kalinya, pemimpin-pemimpin Stalinis mengikuti slogan-slogan politik yang ada. Mereka juga berada di barisan yang sama dengan para demonstran yang menuntut sebuah Pemerintahan Rakyat.

Dan di saat-saat terakhir, para bangsawan-bangsawan CGT itu memerintahkan massa untuk membubarkan diri. Tidak ada lagi rally, tidak ada lagi speakers…

Malam itu De Gaulle berkonsultasi dengan para jendralnya. Sebuah rencana telah berhasil disusun, dan para tentara yang paling loyal kepadanya telah di mobilisasi. Markas besar oprasi militer mengambil tempat di Verdun. Besoknya pada pukul 04.30 pm, muncul di televisi dengan mengabarkan bahwa pertemuan nasional yang terjadi tidak berhasil menghasilkan solusi dan menawarkan pemilu untuk memilih anggota parlemen di tanggal 23 Juni.

Melihat hal itu, birokrat-birokrat CP menerima dengan antusias tawaran dari De Gaulle. Seminggu sebelum pemilihan,mereka (CP) berlomba-lomba dengan kubu Gaullis dan dengan yakin mengatakan bahwa merekalah penguasa baru Prancis. Seminggu setelah pidato De Gaulle, para pekerja mencapai kata sepakat dengan para bangsawan serikat buruh. Dan pada pemilu, para pendukung De Gaulle meningkatkan support mereka terhadap pimpinannya.

Dari pertengahan Mei sampai pertengahan jni 1968, Prancis di cengkeram oleh pemberontakan buruh yang hebat di dalam sejarahnya, tapi sayangnya semua itu harus di akhiri dengan pemilu yang malah memperkuat Partai-partai yang berkuasa, Banyak orang-orang kiri revolusioner menjuluki CPF sebagai pengkhianat. Tapi bagaimana sebenarnya birokrat-birokrat CPF bisa melakuakan pengkhianatan dan dari 10 juta massa yang ada hanya sedikit yang mengambil sikap oposisi?

Inilah pelajaran yang berharga dari Mei-Juni 1968. Ketika kelas pekerja Prancis ambil bagian dalam aksi, dimana (peranan kelas pekerja itu) menjadi sebuah potensi dinamis revolusioner bagi mereka (kelas pekerja), tapi mayoritas kelas pekerja Prancis tidak mampu secara cepat untuk melewati batasan antara tuntutan-tuntutan mendesak yang bersifat ekonomis dan perubahan masyarakat secara radikal.

Ada kesenjangan kesadaran revolusiner di antara mayoritas kelas pekerja, dan mampu dimanfaatkan oleh bangsawan-bangsawan serikat buruh reformis untuk di giring ke ilusi pemilu parlementer.

Revolusi-dalam skala dan militansi yang hebat- sebagai mana di ekspresikan oleh Lenin di tahun 1902 dalam pamplet Apa yang harus dikerjakan: ”Sejarah semua negeri menunjukkan bahwa kelas pekerja, dengan kemampuan yang mereka miliki, mampu untuk mengembangkan kesadaran serikat buruh…”

Kesadaran sosialis revolusioner, sebagaimana ditekankan oleh Lenin, hanya dapat dipasokkan ke kelas pekerja dari luar, ketika terjadi perlawanan spontan antara kelas pekerja dengan pemerintah, melalui ideologi yang membaja dan kerja-kerja organisasi dari sebuah Partai Marxis Revolusioner.

Kekuatan marxis revolusioner Prancis di Mei-Juni 1968 hanya berjumlah sekitar 300-400 orang. Mereka tidak punya kekuatan untuk menantang hegemoni ideologis yang dilakukuan para pemimpin buruh reformis.

Daniel Bensaid, dulunya adalah salah seorang pimpinan JCR dan sekarang menjadi anggota pimpinan dari Ligue Communiste Revolutionnare, juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan:

Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa itu (kejadian di Mei-Juni’68) adalah aksi mogok besar terakhir di abad ke sembilan belas ini. Tapi mungkin juga menjadi aksi mogok besar pertama di abad ke-21. Kita tidak tahu dan itu semua tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini…”

“…kelas pekerja telah di format sedemikian rupa selama bertahun-tahun oleh kemakmuran dan expansi dari welfarestate, seperti hak-hak yang demokratis. Tahun 1968 bukanlah sebuah krisis revolusiner seperti di 1920an, 1930an..”

Ya, memang terdapat sebuah gerakan yang mendalam dari kelas pekerja yang mampu mengguncang borjuasi, tapi tidak terdapat faktor subyektif, tidak ada kepemimpinan revolusioner yang mengakar di kelas pekerja. Kekuatan dari birokrasi membuat kita harus melakukan sesuatu dengan tingkat kesadaran mayoritas massa kelas pekerja. Kita dapat melihatnya sekarang lebih baik..”

Sebagaiman disimpulkan oleh Bensaid, ”Ada sebuah usaha untuk mendepolitisasi interpretasi atas kejadian tahun 1968. Kita harus mempertahankan makna politis yang sebenarnya dan dinamisasi di tahun 1968, tidak hanya merayakannya tapi juga harus mampu memberikan arti yang politis..”

Bagi kita sekarang, itu semua berarti melakukan rededikasi diri kita untuk memperkuat kekuatan revolusioner yang sadar di negeri ini agar kita dapat mempersiapkan secara lebih baik transformasi gerakan spontan kelas pekerja, yang mana mampu mengguncang para kapitalis, ke dalam sebuah perlawanan revolusioner untuk kekuasaan kelas pekerja dan sosialisme.

1 komentar: