Jumat, 26 Desember 2008

KEDIKTATORAN KELAS DAN ASAL-USUL PEMERINTAH ORDE BARU (Materi Anggota I)

KEDIKTATORAN KELAS DAN

ASAL-USUL PEMERINTAH ORDE BARU

Oleh : Cokro



Asal-usul Historis Kontra-Revolusi 1965

Dalam memahami Indonesia, baik literatur akademis maupun politik dalam dekade terakhir ini, telah berhasil diproduksi banyak sekali "teori negara" Indonesia. Sangatlah mencengangkan, begitu banyaknya penamaan (label) diberikan oleh literatur tersebut, sehingga memberikan pertanda bahwa dunia akademis kontemporer telah kehilangan daya kreatif-nya. Penamaan tersebut antara lain: negara pangreh-praja (beamtenstaat), negara birokrat militer (military bureaucratic state), negara birokrat-politis (politico-bureau-cratic state), negara otoriter patrimonial (patrimonial authoritarian state), negara rentenir (rentier state), negara militeris rentenir (rentier militarist state), negara pembangunan penindas (repressive developmentalist state), dan rejim atau negara pembangunan integralis (integralist developmentalist regime or state). Ringkasnya, yang esensinya adalah: negara-demi-negara (state-qua-state). Sudah dapat dipastikan, pengamatan yang lebih kritis atas sedemikian banyaknya teori tersebut akan memberikan pengertian, bahwa bukan saja kurangnya kreativitas yang terungkap di sini, akan tetapi juga memperlihatkan ketidakmampuan dalam memahami dinamika sesungguhnya (real) dalam sejarah Indonesia, yakni: perjuangan kelas-nya.

Dalam kadar yang berbeda-beda, tujuan dari berbagai teori negara tersebut, adalah berusaha untuk membuktikan bahwa "negara" Indonesia itu bersifat mandiri (otonom) atau relatif mandiri dari segala penguasaan kelas apa pun. Yang bisa dinilai sebagai teori yang "terbaik" dari semua teori tersebut adalah yang bersikukuh menyimpulkan bahwa terdapat kemungkinan bagi terbentuknya kelas borjuis, asalkan saja diberi waktu untuk menegakkan dominasinya atas negara. Namun, katanya, pada saat ini, negara masih menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Ada berbagai sebab yang mampu menjelaskan, mengapa gejala tersebut bisa muncul dalam kajian atau analisa politik tentang Indonesia. Alasan sesungguhnya terletak pada perkembangan politik yang memberikan kesempatan bagi apa yang dinamakan "wawasan-wawasan Eurocommunist" untuk menguasai cara berpikir kalangan akademisi sayap kiri di negara-negara Barat, setidak-tidaknya begitulah pendapat yang disampaikan oleh para komentator di Barat. Di Indonesia sendiri, penyebabnya lebih terletak pada isu perubahan yang dimainkan dalam hubungan yang terjadi antara rejim sekarang ini dengan kalangan pakar Indonesia.

Akan tetapi, pijakan awal dari tulisan ini seharusnya bertitik tolak dari kesalahan- kesalahan argumentasi yang diberikan oleh para teoritikus tentang negara --yang baru bermunculan tersebut. Dan sangat besar kemungkinannya bahwa kesalahan-kesalahan tersebut terletak pada watak a-historis dari berbagai analisa mereka. Berbagai ciri dan watak dari kebijakan rejim sekarang ini hampir seluruhnya dianalisa dengan menelusuri asal-usulnya (berhulu) pada struktur, fungsi, atau apa yang dinamakan logika sistem politik yang ada sekarang. Inilah salah satu sebab utama melimpahnya berbagai macam nama (label) yang diberikan bagi negara Indonesia ini.

Setiap kali seorang pengamat menangkap gambaran sesaat pada kurun sejarah tertentu mengenai rejim yangberkuasadiIndonesia, maka ia dengan tergesa-gesa menarik kesim-pulan bahawa ia telah menemukan watak tertentu dari rejim ini, yang dianggapnya penting. Watak tersebut kemudian dianggap sebagai gambaran esensial dari negara Indonesia, maka setelah itu ia memberikan nama tertentu bagi negara Indonesia.


Ketika baru-baru ini terjadi resesi ekonomi dunia dan ketika harga minyak anjlok, rejim Indonesia terpaksa mencari sumber pendapatan dari dalam negeri, misalnya dari berbagai macam pajak. Gejala ini tentu saja memperjelas fakta bahwa selama ini rejim Indonesia memang hidup dari penyewaan sumber daya alam ketimbang dari pajak, paling tidak pajak resmi. Dan, karena ada gejala, dengan gampangnya teoritikus memberikan label “negara rentenir (rentier state)" kepada negara Indonesia. Pendekatan yang a-historis tersebut telah mengaburkan fakta bahwa perjuangan kelas merupakan konteks yang terbaik dalam menganalisa negara Indonesia. Pada tingkat teoritis juga, itu-lah asal-usul kesalahan cara pandang tentang otonomi negara.

Otonomi Negara

Sebenarnya ada suatu proposisi fundamental, yang kadang dinyatakan kadang tidak, yang tersembunyi di balik gagasan tersebut, yakni proposisi terhadap apa yang terjadi pada tahun 1965-1966: di Indonesia, pada tahun-tahun itu, "negara" merebut kekuasaan. Pengertian tersebut telah dirumuskan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah bahwa: Angkatan Bersenjata telah mengambil alih kekuasaan. Yang lainnya bilang bahwa: birokrat-politislah yang mengambil alih kekuasaan. Yang lainnya lagi bilang, dengan cara yang paling terang-terangan (explicit) dan radikal, bahwa: komponen "negara"-lah dari suatu "negara-nasional" (nation-state)" yang mengambil alih kekuasaan, dan itu berarti "negara"-lah yang telah mengambil kekuasaan dari "bangsa.". Landasan empiris dari proposisi tersebut biasanya diletakkan pada kenyataan bahwa tentara menguasai pemerintahan. Sebagai gejala, hal itu memang benar.


Bentuk pemerintahan yang muncul sebagai wujud keberhasilan dari tindakan kontra-revolusi 1965-1966 adalah kediktatoran tentara. Karena tentara kemudian merupakan bagian dari aparat (alat) negara, jadi logis nampaknya bila dinyatakan bahwa aparat negara itu sendiri-lah yang mengambil alih kekuasaan.

Akan tetapi, argumentasi tersebut menimbulkan sejumlah persoalan. Salah satu cara mereka memahami persoalan tersebut adalah dengan memberikan perhatian sesaat kepada fakta bahwa kelompok Soeharto berhasil merebut kekuasaan melalui perjuangan politik, yang berlangsung bukan saja di antara kelas masyarakat umum, tetapi juga di dalam lingkup aparat negara itu sendiri.

Apakah dapat dibenarkan mempertahankan pendapat yang mengatakan bahwa "negara berhasil memperoleh kekuasaannya sebagai akibat dari kekalahan negara itu sendiri ?" Atau barangkali ada yang berpendapat bahwa mereka yang dikalahkan tidak-lah mewakili negara, tapi mewakili kekuatan lain (kekuatan masyarakat, barangkali ?) Tetapi mengapa ? Mengapa Soeharto saja yang mewakili negara, dan bukannya mereka yang dikalahkan ? Tidak. Jawaban sesungguhnya haruslah menggunakan analisa yang dapat menjelaskan bahwa tampilnya Soeharto ke panggung kekuasaan berkaitan dengan perubahan dalam perimbangan kekuatan sosial yang menguntungkan salah satu kekuatan sosial tertentu. Dengan demikian kita dapat memberikan jawaban yang lebih benar dalam menjawab pertanyaan: "apa dan siapa yang diwakili oleh Soeharto ?"

Tapi, ijinkanlah aku untuk mengemukakan tinjauan kritisku ini dengan lebih spesifik lagi. Pertama-tama, sebaiknya kita mengajukan pertanyaan: "jika negara Indonesia itu mandiri, atau katakanlah relatif mandiri, maka ia mandiri dari siapa ?" Gagasan tentang kemandirian relatif negara muncul di kalangan Eurocommunist, yang mengkritik Marxisme-Leninisme klasik --yang memandang negara sebagai alat (instrumen) kekuasaan kelas. Gagasan tentang kemandirian relatif negara mengacu kepada kemandirian negara dari kelas yang berkuasa. (Aku tidak akan mengulang-ulang kata "relatif" karena, dalam kasus Indonesia, kritik-ku ditujukan kepada kedua teori tersebut). Dalam kasus Indonesia, apakah negara itu mandiri dari kelas kapitalis dan/atau modal internasional, atau apakah kelas yang berkuasa adalah aparat negara itu sendiri, yakni tentara dan birokrat, atau priyayi ?

Apakah negara Indonesia itu mandiri dari kelas kapitalis, ketika ia (negara) membuat keputusan? Marilah kita merumuskan pertanyaan dengan lebih konkrit lagi. Apakah berbagai aparat negara-pemerintah --tentara dan polisi, pengadilan, sekolahan dan sebagainya-- yang digunakan oleh para pejabat tingginya sebagai kaki tangan negara, mandiri terhadap keinginan dan kekuasaan kelas kapitalis Indonesia ?

Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, harus kita jernihkan (segamblang-gamblangnya) dahulu, "terdiri dari siapa saja kelas kapitalis Indonesia itu ?" Satu-satunya hal berharga yang disumbangkan oleh bukunya Robison adalah bahwa: ia telah berhasil mendokumentasikan komposisi dari kapitalis lokal Indonesia. Dan buku tersebut mengandung bukti yang memadai yang dapat menjelaskan bahwa komponen yang paling kuat menguasai wilayah strategis adalah: (1) keluarga pimpinan kunci kudeta kontra-revolusi di Indonesia 1965 (baca: keluarganya Soeharto,-ed.) beserta kerabat dekatnya, dan (2) para pengusaha tertentu dari keturunan Cina. Robison juga membenarkan bahwa ada kesinambungan (baca: regenerasi,-ed.) keberadaan kapitalis santri --yang kurang berpengaruh-- dan kelompok kecil kapitalis lainnya. Dengan memperhitungkan hal tersebut, barulah kita absah untuk kembali kepada pertanyaan yang diajukan pada alinea sebelumnya. Apakah keputusan yang dibuat untuk mendayagunakan aparatus negara dilakukan dengan terlepas dari keinginan dan kekuasaan para pengusaha keluarga pimpinan kunci kontra-revolusi dan kelompok kecil pengusaha Cina sahabat-sahabat mereka ?

Atau lebih rinci lagi, apakah keputusan tersebut dibuat dengan terlepas dari keinginan Soeharto, Soedharmono, Ibnu Soetowo, Surya dan yang lain-lainnya ? Jawabannya jelas dan pasti: TIDAK!! Sungguh, ketimbang ngotot membenarkan penjelasan bahwa negara Indonesia memiliki kemandirian, bahkan kemandirian yang relatif sekalipun, aku pikir lebih baik bila berkesimpulan bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling dikuasai oleh kelas yang berkuasa, yakni kelas kapitalis, melalui salah satu fraksinya yang paling kuat, yaitu fraksi keluarga pimpinan kontra-revolusi 1965, yakni keluarga Soeharto. Tetapi orang bisa saja akan berkata bahwa para keluarga tersebut hanyalah sekadar "pembengkakan dari negara", yang mengabdikan kekuasaan mereka pada jabatan mereka selaku abdi-negara. Memang benar, bahwa asal-usul mereka sebagai komponen yang sangat penting dan besar secara ekonomi --paling tidak pada tingkat yang artifisial-- berpangkal dari keberhasilan mereka merebut kekuasaan pemerintah dan Angkatan Bersenjata pada tahun 1965. (Asal-usul yang lebih dalam/mengakar, yang akan aku jelaskan lebih lanjut, adalah penjelasan mengapa justru mereka yang mampu merebut kekuasaan pemerintahan dan memperoleh kepemimpinan di kalangan Angkatan Bersenjata). Tapi, apakah mereka bisa disamakan dengan/sebagai negara ? Apakah absah secara analitis mencampur-adukkan ke-duanya ? Dan apakah secara politis dapat dibenarkan ?

Ijinkanlah aku mengajukan pertanyaan sebagai berikut: apabila Soeharto, Soedharmono, Ibnu Soetowo, Soedomo dan yang lain-lainnya mati, siapakah yang akan mewarisi perusahaan semen, mobil, kretek, hotel, peralatan listrik, transportasi, asuransi, pengapalan/perkapalan, ekspor-impor dan yang lain-lainnya, yang kini mereka miliki ? Anak-anak mereka atau para walinya-kah ? Ataukah semuanya itu akan menjadi milik negara ? Tentu saja, tidak menjadi milik negara. Semua kekayaan tersebut adalah mutlak milik pribadi mereka (melalui PT-PT-nya, tentunya). PT-PT itu dimiliki oleh para keluarga dan dikelola demi keuntungan mereka, bukan demi negara. Bagaimana halnya dengan perusahaan-perusahaan negara ? Para keluarga tersebut-lah, di bawah pimpinan keluarga Soeharto, yang mengontrol pemerintahan yang mengelola perusahaan-perusahaan negara.

Perusahaan-perusahaan negara dikelola demi keuntungan para keluarga tersebut. Dalam hal ini, ada 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, setelah pemerintahan Soekarno, kecenderungan umum di bawah kepemimpinan Soeharto adalah swastanisasi, bukan perluasan perusahaan-perusahaan milik negara. Lihat saja, pertama-tama, semua perusahaan milik Amerika dan Inggris yang sudah dinasionalisasikan (pada jaman pemerintahan Soekarno, ed.), dikembalikan. Perusahaan-perusahaan milik negara dan Belanda yang sudah dinasionalisasikan, pada mulanya memang tetap dipertahankan sebagai milik negara. Akan tetapi perusahaan-perusahaan tersebut secara berangsur-angsur mulai diubah dari PN (Perusahaan Negara) menjadi PT (Perseroan Terbatas). Hal itu terutama terjadi pada dekade 80-an, saat para keluarga yang paling berpengaruh tersebut sedang menghimpun dana untuk membeli, atau paling tidak, memasukkan andil ke dalamnya.

Kedua, sebagian besar perusahaan milik negara digunakan untuk membagi-bagikan (menjual) berbagai kontrak, baik kepada perusahaan-perusahaan asing atau swasta lokal. Bahkan PERTAMINA, pada hakekatnya merupakan agen bagi pemerintah dalam berurusan dengan Mobil Oil, Caltex dan yang lain-lainnya. Karena itu, aku melihat negara Indonesia pada hakekatnya adalah sebuah negara kapitalis neo-kolonial, yang dikuasai oleh kelas kapitalis lokal yang bersekutu dengan modal internasional melalui --sebagaimana biasanya kasus yang terjadi-- fraksi-fraksi kaum modal (baca: kapitalis,-ed.) yang paling kuat pada saat itu. Tapi masalahnya tidak selesai sampai di situ saja. Karena Indonesia memiliki sejarah pasca-kemerdekaan yang --dalam banyak hal-- berbeda dengan berbagai negeri Dunia Ketiga lainnya.


Kelemahan Politik Borjuasi Indonesia

Sebelum membicarakan sejarah Indonesia yang luar biasa ini, pertama-tama adalah perlu untuk menjawab pertanyaan tentang peranan modal internasional, yakni imperialisme. Dengan begitu akan membimbing kita secara benar kepada permasalahan (diskusi tentang) sejarah Indonesia pasca-kolonial yang luar biasa tersebut.


Proposisi yang hendak aku kemukakan di atas adalah: negara Indonesia adalah instrumen dari kelas kapitalis Indonesia, yaitu persekutuan antara keluarga pasca 65 yang paling berpengaruh dengan modal internasional, yang menggunakan alat-alatnya dengan begitu kuasanya.


Terputus Dari Imperialisme


Tetapi, apakah hakekat dari persekutuan dengan modal internasional ? Richard Tanter, dalam makalahnya yang dipersembahkan pada Universitas Monash, dengan tepat mengidentifikasi dua hal penting yang berkaitan dengan hubungan ekonomi: "ketergantungan" pada ekspor minyak (dan gas) dan pinjaman IGGI. Dengan menggunakan konsep "negara rentenir (rentier state)", Tanter menjadikan "negara" sebagai sesuatu yang tergantung. Tapi, dalam hal ini, lagi-lagi kita harus lebih rinci: siapa atau apa yang tergantung? Juga kepada siapa atau untuk apa ?"

Aku akan jelaskan dengan cara begini: ekonomi Indonesia sangat tergantung pada kesinambungan ekspor minyak dan gas bumi (dahulu karet dan gula) dalam jumlah besar (juga ekspor kayu dan tekstilnya), demi pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat tergantung pada sejumlah besar pinjaman luar negeri. Bila ekspor tersebut jatuh pada tingkatan tertentu, maka peluang investasi akan mengecil/merosot. Sehingga, keuntungan investasi yang ada pun akan cenderung merosot, kecuali jika biaya investasi tersebut juga menurun (dapat dikurangi). Dalam keadaan demikian, tentu saja sangat berat bagi para keluarga tersebut untuk mengeduk keuntungan yang sama dengan masa sebelumnya. Sehingga kemudian akan timbul tekanan bagi patron politik untuk menyalurkan uang demi mensubsidi keuntungan tambahan.


Inilah problem sosial yang diakibatkan oleh terlalu jatuhnya tingkat ekspor dan pinjaman luar negeri, atau kenaikannya yang tidak terlalu tinggi. Sejalan dengan itu, timbul kebutuhan untuk mengendalikan ketegangan politik yang terkandung di kalangan kelas buruh dan tani, sebagaimana juga terkandung di kalangan kelas menengah dan pengusaha non-keluarga.


Aku akan memberikan sanggahannya: dominasi imperialisme terhadap Indonesia merupakan sesuatu yang sangat umum, atau berada pada tingkat makro. Ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang tergantung demi pertumbuhannya kepada ekspor komoditi tunggal (energi) KARENA Indonesia adalah bagian dari sistem kapitalis dunia, yang pasarnya untuk komoditi-komoditi lain pada hakekatnya telah dikuasai oleh negeri-negeri industri besar. Namun, melalui kebijakan ekonomi IGGI (sekarang CGI), pasar bagi Indonesia dengan sendirinya dimonitor agar dapat dijamin ruangnya. Oleh karena itu, aku tidak menganggap Rejim Soeharto adalah rejim "boneka". Indonesia memang pro-Barat, akan tetapi kebijakan pro-Barat-nya mengikuti alurnya sendiri. Indonesia mengarah ke pembangunan kapitalis, di ruang yang tersedia baginya, akan tetapi sedapat mungkin akan memperluas ruangnya, sekecil apapun. Bahkan secara budaya, Indonesia tidaklah seperti Filipina ataupun Amerika Latin, yang dipengaruhi kebudayaan Imperialis Amerika. Rezim Indonesia berusaha mengembangkan kebudayaan elitis, kosmopolitanisme ala Indonesia, ketimbang kebudayaan elit ala Amerika, Jepang, Anglikan ataupun Belanda.

Mengapa kelas kapitalis yang kecil dan baru, dalam ekonominya yang belum dalam taraf industrialisasi maju, justru sanggup berdiri bebas (independen) dari negeri-negeri imperialis dalam mengejar berbagai kepentingannya sendiri yang pro-Barat, pro kepentingan kapitalis ? (Misalnya dalam isu pangkalan perang, Vietnam, penunjukan duta besar, sektor-sektor ekonomi yang terbuka bagi modal asing, dan lain sebagai nya).


Semua alasan yang aku kemukakan adalah sama, yakni bahwa Indonesia, sebagai negeri bekas jajahan, memiliki sejarah yang luar biasa yang bertolak dari pernyataan umum: revolusi nasional telah memberikan kemerdekaan politik, tapi tidak kemerdekaan ekonomi. Ini-lah proposisi utama bagi semua negeri neo-kolonial. Dalam kasus ini, kurangnya kemerdekaan ekonomi ini-lah yang dapat menjelaskan kesinambungan kekuasaan politik imperialis dalam berbagai bentuk dan cara --atau paling tidak selama dekade 70-an, awal dekade 80-an, sebelum resesi sempat menggoyahkan negeri-negeri Dunia Ketiga.


Sebagaimana aku telah kemukakan sebelumnya, Indonesia telah dan merupakan subyek dari kungkungan kekuasaan ekonomi imperialis pada tingkat umum atau makro. Perlu kiranya aku nyatakan kembali argumen yang lebih memiliki konteks historis: Indonesia yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda (dan pendudukan Jepang), merupakan Indonesia yang terbelakang dan belum terindustrialisasikan, serta tidak sanggup bersaing dengan negeri-negeri kapitalis besar. Ekonominya hanya sanggup berkembang di sekitar ruang yang telah dimiliki sebelumnya. Imperialisme tidak mencampurinya secara langsung, akan tetapi memanfaatkan keterbelakangan ekonominya.

Karena adanya campur tangan imperialis-lah, sejarah Indonesia memiliki aspek yang luar biasa. Perang Dunia II menghancurkan arti penting posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tidak hanya menduduki Indonesia, tetapi juga menghancurkan basis modal (ekonomi) dan hegemoni (politik) Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tidak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walaupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil, walaupun Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, dan kehadiran sebagian kepentingan ekonomi Belanda bisa dipulihkan, namun tidak terdapat dominasi mutlak ekonomi neo-kolonial Belanda terhadap Indonesia. Apalagi pada tahun 1957-1958, kehadiran ekonomi Belanda mutlak lenyap.

Dan, apa pun penyebabnya, kehancuran ekonomi Belanda di Indonesia tidak digantikan oleh dominasi ekonomi neo-kolonial Inggris ataupun Amerika. Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tidak bisa memanfaatkan ruang yang tersedia baginya. Sebagai negeri yang baru merdeka, dengan sejarah kolonial dimana Belanda menghambat pertumbuhan kelas pengusaha pribumi, Indonesia hanya memiliki kelas kapitalis (atau tuan tanah) yang, secara ekonomi dan politik, lemah.

Di samping itu tidak ada kelas kapitalis asing yang secara ekonomi dan politik, dominan. Indonesia tidak lain merupakan bagian yang dikuasai dan diperas oleh sistem imperialis, sebagaimana juga negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya. Akan tetapi imperialis tidak mempunyai agen --apakah itu boneka atau pun sekutu— yang efektif di negeri ini. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa memang benar kelas kapitalis dan pemilik tanah-lah yang berkuasa. Mereka bisa berkuasa melalui partai-partainya --Masyumi, NU, PNI dan lain sebagainya. Uang dan kekuasaan partai-partai ini selalu saja pada akhirnya, berasal dari kelas-kelas yang berpunya, walaupun mereka mengakui butuh dukungan rakyat, yang dipenuhi dengan konsesi nyata atau retorika. Kekuasaan mereka sebenarnya amatlah lemah. Tidak cukup mufakat yang mereka hasilkan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan. Juga terdapat persaingan mengenai fraksi mana yang akan memimpin. Pemerintahan jatuh bangun. Walaupun pada dekade 50-an ada kemajuan di bidang ekonomi, tapi sangat lambat. Dan yang terpenting, proyek politik kelas borjuis yang mencoba berkuasa ini --berupa konsolidasi kekuasaan demokrasi borjuis-- mengalami kegagalan. Ketimbang pertanyaan Hary J. Benda, aku pikir pertanyaan Feith mengenai mengapa demokrasi konstitusional gagal, adalah benar-benar sepenuhnya absah. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan proyek politik yang sangat penting bagi kelas yang berkuasa pada waktu itu --jadi, tentu saja, sangat penting untuk memahami mengapa mereka gagal.

Dengan kelas kapitalisnya yang kurus kering, --yang disengsarakan oleh Perang Dunia-- dan ekono minya yang belum terindustrialisasi, serta tidak hadirnya kelompok ekonomi asing yang memiliki boneka atau sekutu lokal, maka tidak mengherankan bila mereka gagal. Pertanyaan pokoknya: penyebabnya tidak lain adalah kelemahan politik dan kecilnya borjuis serta tuan tanah Indonesia, atau lebih tepatnya, itulah hakekat sebenarnya dari kelemahan mereka.

Di dalam dan di antara mereka sendiri, berbagai kelas tersebut tentu saja terpecah-belah. Sangat jelas tercermin dari banyaknya jumlah partai yang mengemban kepentingan kelas kapitalis dan tuan tanah Indonesia: Masyumi, NU, PSII, PNI, dalam banyak hal, dan bahkan PSI. Pemilahan tersebut mencerminkan

fakta bahwa kelas kapitalis Indonesia secara mendasar masih berbasis kedaerahan. Kebijakan Belanda dahulu menyebabkan pasar nasional dikuasai hampir sepenuhnya oleh modal Belanda dan Cina. Sebagian besar pengusaha pribumi hanyalah melayani pasar regional atau mengekspor dari daerah masing-masing. Sebagai akibat tatanan politik semacam itu, mereka menjadi semakin terseret atau terlibat ke dalam berbagai pandangan yang mencerminkan dominasi keagamaan, budaya dan ideologi masing-masing daerah. Partai-partai tersebut, walaupun berusaha untuk menjadi dan bermakna pada tingkat nasional, namun tetap saja pada dasarnya merupakan partai yang berbasis kedaerahan. Oleh karena itu kelas penguasa terpecah-pecah ke dalam batas-batas kedaerahan, etnik, keagamaan dan budaya.


Kelemahan Ideologi: Warisan Kerakyatan


Tapi ada kelemahan yang lebih penting. Kecilnya pasar dalam negeri, tentu saja mencerminkan status ekonomi kolonial yang terlalu mengutamakan layanan pada modal Belanda yang berorientasi pada pasar ekspor. Kapitalisme masuk ke Hindia Belanda tidak melalui revolusi borjuis, tetapi melalui kolonialisme. Hubungan-hubungan sosial feodal dan pra-borjuis tidak sepenuhnya "hancur lumat (remuk redam)" dengan adanya ledakan kemampuan teknologi dan tenaga produktif (productive forces) yang memerlukan hubungan-hubungan sosial yang baru. Jadi ideologi dan cara berpikir feodal juga tidak dihancur-lumatkan oleh ledakan gagasan-gagasan borjuis baru. Di Indonesia, feodalisme sedikit demi sedikit dikikis oleh menipulasi kolonial, demi kepentingan imperialis. Ideologi dominan yang hidup di setiap tingkatan masyarakat Indonesia pada umumnya berwatak pra-borjuis. (Buku roman Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada intinya menganalisa bagaimana ideologi pra-borjuis tersebut mendapatkan tantangan dari borjuis nasional, dan tantangan tersebut gagal).

Gambaran mendasar dan esensial ideologi yang diterima oleh semua partai terkemuka tersebut adalah panggilan keagamaan mereka, yang merupakan bentuk yang biasanya terdapat pada ideologi feodal. (Di bawah kekuasaan kapitalisme Victoria, agama diubah menjadi moralitas murni-kudus-kere (puritan moralism) ).

Tentu saja, gagasan-gagasan borjuis, yakni "modernisme," selalu harus bertarung untuk memperoleh tempat di antara ideologi-ideologi tersebut. Akan tetapi, untuk tujuan menegakkan suatu "demokrasi konstitusional" yang stabil, ideologi-ideologi yang ada pada waktu itu tidaklah memadai. Panggilan keagamaan, yakni pengutamaan pada keyakinan dan kepercayaan (ketimbang pada akal dan ilmu), pengutamaan pada segala yang kolektif (ketimbang pada individu), pengutamaan pada kepemimpinan kolektif-organik (ketimbang pada "perwakilan profesional"), semuanya akan menghadang usaha hegemoni Gramscian (yang berusaha memekarkan dan meranumkan ideologi borjuis).

Keadaan buruk masih saja menghadang kelas kapitalis Indonesia yang baru lahir tersebut, termasuk menghadang para pengagum nilai-nilai demokrasi borjuis (seperti PSI, Hatta), karena sementara itu kaum nasionalis juga berjuang dengan menggunakan ideologi pra-borjuis untuk menghimpun kekuatan, dan pada saat yang sama menyebarkan gagasan-gagasan demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial. Konsep Marhaen-nya Soekarno cocok dengan (memperoleh tanggapan dari) kesadaran yang benar-benar ada dan hidup pada saat itu rasa kebersamaan beserta kepemimpinan organiknya; hubungan patron-klien yang meluas dapat digunakan untuk menghimpun kekuatan.


Aku sepenuhnya yakin bahwa tradisi pergerakan nasional adalah radikalisasi (sedemikian rupa) hegemoni ideologi pra-borjuis, sehingga sanggup memojokkan kekuatan borjuis, dan juga menguntungkan kaum kiri. Hal tersebut bisa terjadi karena kepemimpinan politik --baik yang revolusioner atau pun yang patron-- telah berhasil mengangkat gagasan "klien kolektif (kebersamaan-persaudaraan) sebagai dasar kejayaan Marhaen dan Rakyat (pakai huruf besar M dan R). (Dan tentu saja, berbagai keterbelakangan jenis-jenis feodal juga menghendaki masuknya agama ke dalam parlemen). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa salah satu konsep yang pertama-tama diperkenalkan oleh Orde Baru adalah "massa mengambang".

Seringkali kita mengkritik konsep tersebut sebagai bagian dari otoritarianisme Orde Baru. Tapi pada kenyataannya, konsep tersebut hanyalah merupakan suatu pernyataan terbuka tentang kunci untuk memapankan demokrasi borjuis. Di Indonesia disebut "massa mengambang"; di Barat, TIDAK KURANG BEDANYA, BAHKAN LEBIH DITERIMA SEBAGAI BAGIAN DARI IDEOLOGI DOMINAN. Konsep

tersebut merupakan prasangka untuk menentang apa yang mereka sebut sebagai "sarang-sarang tikus," "ekstrimis," "penghasut," dan "kesenangan berpamer-pamer." Gagasan bahwa massa sebagai penentu melalui kotak-kotak suara pemilu, yang sebenarnya tidak berbeda dengan "massa mengambang," tidak lain merupakan hakekat demokrasi borjuis. Hanya di Indonesia, konsep tersebut dengan brutal dipaksakan karena, sederhana saja, konsep tersebut bukan bagian dari hegemoni ideologi.


Terbongkarnya Kelemahan: 1957-1958, Tantangan Terha-dap Dua Medan

Dalam "Decline of Constitutional Democracy", Feith dengan tegas mengidentifikasikan kecenderungan utama dari dua periode yang ia bahas atau, lebih tepatnya, membeberkan kemerosotan borjuasi tradision-al beserta partai-partainya. Tahun 1959 sering dia-nggap sebagai akhir periode Demokrasi Parlementer, dan awal Demokrasi Terpimpin. Musik pengantar ke arah perubahan tersebut sebenarnya terjadi pada tahun-tahun 1957-58. Pada periode tersebut lah borjuasi "tua bangka" menghadapi tantangan yang terberat. Dan gagal.


Ada tiga medan tantangan yang harus dihadapi, dengan segala kesulitan dan kelemahannya masing-masing, --seperti telah diterangkan di atas. Pertar-ungan tersebut sebenarnya tidak lain daripada persia-pan bagi kekalahan mereka (borjuis). Medan pertama adalah saat mereka menghadapi perpecahan tajam di antara mereka sendiri, ketika para pemimpin tentara di Sumatra dan Sulawesi melancarkan pemberontakan bersenjata dengan didukung oleh sejumlah politikus kanan. Yang kedua, saat mereka menghadapi cepatnya

pertumbuhan gerakan kiri dikalangan massa. Dan yang terakhir, saat mereka menghadapi tantangan dari kepemimpinan Angkatan Bersenjata, yang sudah siap mengambil keuntungan dari ketidak mampuan borjuis dalam menghadapi kedua tantangan di atas.

Kadar kemampuan ekonominya yang kecil, kur-angnya aliansi atau dukungan efektif dari imperialis-me, perpecahan ke dalam dan, yang terpenting, kelema-han akut ideologinya, menyebabkan KELAS KAPITALIS INDONESIA (YANG LEMAH PERSEKUTUANNYA DENGAN TUAN TANAH) BEGITU TAK MAMPUNYA MENGALAHKAN GERAKAN BURUH DAN PETANI MELALUI ALAT-ALAT POLITIK.

Walaupun dihancurkan pada tahun 1948, PKI telah berhasil tumbuh menjadi salah satu dari empat partai besar di tahun 1955 dan memenangkan pemilu daerah pada tahun 1957. Media massanya, serikat buruhnya, persatuan senimannya bisa tumbuh menjadi besar. Padahal PKI selalu menjadi sasaran pemberangu-san, prasangka keagamaan, dan perang dingin interna-sional. Aku pikir, kadangkala kita amat teledor mengenai hal ini; kita meremehkan arti kecepatan dan kebesaran pertumbuhan gerakan massa terbuka KOMUNIS, yang menyebakan borjuis benar-benar tidak mampu lagi menyainginya dengan alat-alat ideologi dan politikn-ya. Hanya dalam tujuh tahun PKI bisa berkembang pesat! Bagaimana jadinya jika sepuluh atau lima belas tahun? Kemudian gerakan serikat buruh berhasil menguasai sejumlah besar sektor ekonomi modern, yang tadinya berada di tangan Belanda. Menguasainya! Tidak melalui negara, tidak melalui undang-undang, tapi secara sepihak! Bahkan sering terjadi dengan tanpa kepemimpinan PKI atau pemimpin-pemimpin SOBSI sen-diri. Bagaimana reaksi gerakan buruh seandainya pada waktu itu ada instruksi pemerintah untuk mengembali-kannya? Apakah mereka harus menjualnya kepada perusa-haan swasta, atau mengembalikannya kepada pemerintah pada saat itu? Mudahnya pengambilalihan mencerminkan betapa tidak bertenaganya partai-partai konservatif yang ada. Dan akhirnya, tentaranya lah yang memberi-kan jawaban kepada buruh.

Aku menganggap tindakan tentara ini sebagai aru balik yang penting dalam kehidupan politik Indo-nesia, sebuah mata air bagi perjuangan kelas di Indonesia. Setelah kegagalan (fiasco) pada tahun 1948, gerakan buruh dan tani Indonesia berkembang dengan kekuatan-kekuatan barunya, sementara kekuatan-kekuatan borjuis saling bercakar-cakaran. Kelemahan ideologi dan politik partai-partai konservatif diper-buruk oleh iklim anti-imperialis pada masa itu.

Kelemahan pokok lainnya adalah kurangnya pengaruh organisasi-organisasi sipil borjuis terhadap Angkatan Bersenjata, sebagai bagian dari revolusi politik kaum nasionalis. Terlebih-lebih lagi, banyak kelompok perwira Angkatan Bersenjata sendiri mulai bermunculan sebagai borjuis kecil, yang mulai mem-perkaya dirinya sendiri melalui keterlibatannya dalam penyelundupan dan bentuk-bentuk perdagangan lainnya. Sangat penting untuk digarisbawahi bahwa kepemimpinan Angkatan Bersenjata, yang bekerjasama

dengan partai Murba, memainkan peranan ketika menghasut buruh dalam aksi pengambilalihan di tahun 1957. SOBSI, yang dipengaruhi PKI, masuk ke dalam jebakan hasutan tersebut dengan maksud agar aksi tersebut tidak ditunggangi oleh saingan kanannya.

Ketika tentara mengambilalihnya kembali, Soekarno justru mendukungnya. Dan ini merupakan kekalahan yang sangat berarti bagi gerakan buruh-tani. Keadaan menjadi semakin parah karena tidak ada kampanye untuk semacam nasionalisasi sejati, di mana buruh dapat menguasai hasil perjuangannya. Kekalahan tanpa pertarungan adalah lebih melumpuhkan ketimbang setelah bertarung. PKI membatasi upayanya: tuntu-tannya hanya sekadar mengikutsertakan wakil buruh dalam dewan perusahaan.

Dari sudut pandang PKI sendiri, aksi pengam-bilalihan tersebut dianggap terlalu pagi (premature). Mereka terpaksa masuk ke dalamnya atas prakarsa Murba-Angkatan Darat. Dalam konteks pemberontakan tentara sayap kanan di daerah-daerah, kepemimpinan PKI telah dipojokkan untuk menyetujui diumumkannya undang-undang darurat. Dalam kedua kasus tersebut, PKI telah kehilangan prakarsanya dalam menghadapi Angkatan Darat. PKI selanjutnya berada dalam kerang-keng persekutuan dengan kepemimpinan AD dan Soekarno dalam menumpas pemberontakan PRRI. Akan tetapi PKI berada dalam ruang aliansi yang situasinya menyebab-kan mereka kehilangan inisiatif politik: mereka dipaksa mengekor di belakang kekuatan Murba-Angkatan Darat. Jalan terbaik bagi mereka: mulai mengga-lang persekutuan mereka yang mendalam dengan Soekarno.


Kapitalis Bersenjata

Pengambilalihan perusahaan-perusahaan terse-but oleh tentara juga dianggap sebagai kekalahan partai-partai konservatif, dan dalam beberapa hal, kekalahan organisasi-organisasi politik klas borjuis dan klas pemilik tanah Indonesia. Partai-partai tradisional kehilangan inisiatifnya dalam menghadapi Angkatan Bersenjata dan Soekarno. Terlebih-lebih, ruangan telah terbuka bagi perluasan kapitalis ber-senjata karena mereka kini telah menguasai perusa-haan-perusahaan bekas milik Belanda. Dalam hal ini, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah PADA MASA KINI tentara sesungguhnya sedang mempraktekan kebebasan relatif mereka terhadap kelas yang dominan secara ekonomi? Aku pikir, dalam hal ini terdapat dua faktor yang harus diteliti. Pertama, pada akhirnya, kelas borjuis Indonesia beserta para penghisap di pedesaan, yaitu para pemil-ik tanah dan birokrat, tergantung kepada tentara untuk menentang dirinya dalam menghadapi revolusi. Kelas dominan tersebut terlalu lemah ketika menghada-pi oposisi revolusioner.


Kedua, Angkatan Bersenjata Indonesia sesungguhnya diciptakan oleh revolusi nasional, gerakan yang melibatkan multi-kelas. Hal ini tidak saja tercermin dari komposisi dalam tubuh Angkatan Bersenjata, akan tetapi, yang terpen- ting, kurangnya identitasnya terhadap salah satu kelas di Indonesia.

Ketiga, dengan menggunakan senjatanya, banyak sekali seksi-seksi di ketentaraan yang telah aktif sebagai kapitalis. Kita tahu dengan jelas bahwa panglima-panglima daerah banyak yang melibatkan dirinya dalam penyelundupan dan/atau bekerja sama dengan pengusaha setempat.

Kemenangan tentara dalam mengambilalih perus-ahaan-perusahaan Belanda, yang tadinya dikuasai oleh buruh, mengandung dua aspek penting. Pertama, mencip-takan ketergantungan politik borjuis sipil kepada tentara, yang setuju dengan keterlibatan tentara dalam menghadapi gerakan kiri. Dengan demikian mem-berikan peluang bagi Angkatan Bersenjata untuk mela-kukan serangan politik yang luas. Kedua, melapangkan jalan bagi fraksi kapitalis bersenjata dalam bekerja sama dengan borjuis pribumi yang telah ada, yang lemah secara politik dan tidak bersenjata. Dengan kata lain, lebih mempercepat proses keterlibatan komersial perwira-perwira tentara. Di dalam kelas kapitalis itu sendiri sudah lama terdapat pertantangan historis, yang tumbuh akibat kelemahan politik borjuis lama ketika mengha-dapi gerakan revolusioner. Pertentangan tersebut adalah antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TIDAK BERSENJATA. (Di dalam Angkatan Bersenjata pun terjadi pemilahan antara jendral-jendral yang satu mewakili kepentingan kapitalis bersenjata, dan yang lainnya mewakili kepentingan Angkatan Bersenjata sebagai suatu institusi ketentaraan.)


(Sampai sekarang, kedua faktor tersebut masih ada. Inilah persoalan yang harus dihadapi oleh gener-asi kapitalis pasca-65 --para kapitalis dari kalangan kerabat dekat-- bila mekanisme untuk menguasai aparat negara, dalam hal ini kepresidenan Soeharto berakhir.)

Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa tindakan pengambilalihan perusahaan-perusahaaan Belanda oleh tentara sesungguhnya mewakili kepentin-gan umum kelas yang berpunya di Indonesia. Bayangkan bila kelas buruh dan tanilah yang menguasai seluruh sektor perekonomian modern Indonesia?

Pertentangan akhirnya dapat diselesaikan, dengan kemenangan mereka yang paling dominan dalam kontra-revolusi 1965-1966, walaupun pertentangan di antara kelas penguasa Indonesia untuk selanjutnya berputar di sekitar sumbu itu-itu juga: misalnya MALARI atau PETISI 50. Akan tetapi, karena pertentan-gan tersebut akhirnya dimenangkan oleh KAPITALIS BERSENJATA, kapitalis Indonesia tetap saja tidak dapat diatasi. Penghancuran fisik gerakan revolusion-er HANYALAH satu-satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik oleh karena mereka tidak mampu mengalahkannya di bidang ideologi. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangki-tan gerakan yang berbau kerakyatan atau kiri).

Hal yang pertama-tama harus aku tekankan adalah bahwa, sebagai suatu fraksi kelas, sesungguhn-ya belum banyak makan asam-garam. Pada akhir dekade 50-an, berlangsung dua proses. Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis bersenjata, yang barisannya adalah Soeharto. (Yang aku maksud adalah dilihat sebagai gejala sosiologis, bukan sebagai kelompok politik yang terorganisasi). Aku menyebut Soeharto, karena kelompoknyalah, sepanjang yang aku temukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia. Kedua, semakin kuat kepemimpinan politik kelas borjuis yang lemah dan terpecah belah. Nasution dan lain-lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud "membuat negeri mandiri", akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan-kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai-partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat (konco-konco) pelaku-pelaku utama kontra-revolusi 1965-1966. Pada masa itu, hal terse-but menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisi konservatif. Semua itu artinya, anti-partai tapi pro kapitalis, atau kebijakan-kebijakan pro-Barat: kebi-jakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kelom-pok-kelompok pengusaha yang ada, tapi menentang wakil-wakil politik tradisional mereka dalam merebut kekuasaan.

Tapi Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi Kiri, bahkan bila seandainya pun mereka dikalahkkan dalam aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Mereka bersaing dengan kepemimpi-nan tradisional konservatif, yakni partai-partai yang terpecah belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tidak dapat bersekutu dengan gerakan buruh-tani. Bagaimana pun juga, kebutuhan mendesak kampanye mereka dalam menentang partai-partai, memba-wa mereka masuk ke dalam persekutuan dengan Soekarno.


Awal 1991













"Demokratisasi" Dewasa ini:

Usaha Mencari Bentuk Kediktatoran Kelas Yang Baru


Negara, Masyarakat dan Demokratisasi Indonesia Dewasa Ini:

Suatu Pendekatan Kelas.


Aku hendak mencoba membuat suatu analisa sehubungan dengan seruan kalangan elit Indonesia akan keterbukaan dan demokratisa­si. Aku hendak menjelaskan sejumlah dalil berikut:

1. Proses mendasar yang kini berlangsung di dalam pertarungan politik di kalangan berbagai faksi kapitall adalah untuk menegakkan suatu mekanisme baru pemerintahan dan mengakhiri monopoli kekuasaan klik yang telah membentuk pemerintahan sejak tahun 1966;


2. Bahwa proses itu :

  1. mengakhiri ilusi yang menganggap kekuasaan itu ada pada negara itu sendiri, termasuk para pejabat militer dan sipilnya atau para priyayi;

  2. memperlihatkan sta­tusnya sebagai alat dari kepentingan non-militer dan non-birokratik; dan

  3. melahirkan suatu proses politisasi baru di kalangan sejumlah sektor korps perwira;


3. Bahwa proses ini berkaitan dengan proses yang lebih mendalam yang akan melahirkan keadaan yang lebih kondusif bagi pertentangan kelas (terutama antara kapital dengan buruh) yang diperkirakan akan mengandung bobot politik yang lebih besar dan terbuka.


Aku akan mengawali bahasan dengan membicarakan makalah Dick Robinson, "Authoritarian States, Capital-owning Clases, and the Politics of Newly industrialising Countries: the Case of Indone­sia" in Word Politics. Aku pikir ini adalah tulisan yang sangat baik, menganalisis sejumlah perkembangan terpenting Indonesia dalam periode terakhir Orde Baru. Kekuatan utama dari karya

Robinso ialah sifat presisinya dalam mengidentifikasi kepentingan berbagai kelompok bisnis dan memperlihatkan sangkut paut kelompok serta pertarungan menyangkut berbagai kebijaksanaan ekonomi. Robinson, seperti juga yang lainnya, menganalisa anggapan bahwa kekuasaan Soeharto diambil alih Negara. Ini jelas terlihat dalam awal makalahnya, dimana ia menyatakan:

"Di Indonesia, negara dan para pejabatnya merupakan suatu

kekuatan politik yang padu dan dapat diidentifikasi,

kekuatan politik yang amat otonom (bebas) dan berdominasi."


Pandangan Robinson ini mengatakan bahwa Orde Baru mulai dengan melembagakan negara yang otonom dengan para pejabatnya sebagai kelompok pendominasi, yang inti kekuatan politiknya ia lukiskan sebagai 'politiko-birokrat' (politikus yang birokrat). Rumusannya yang mengatakan bahwa tentara mengambil oper kekuasaan pada tahun 1965, atau bahwa negara dengan para pejabatnya masih mengemban kekuasaan, aku pikir tidak cukup akurat. Penampilan Soeharto menduduki jabatan kepresidenan dengan konsolidasi kekuasaanya, bukan hanya sekedar suatu proses pengambil-alihan kekuasaan dari tangan sipil ke tangan kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Ini bukanlah suatu kudeta militer dalam artian tradisional walaupun barangkali Nasution atau Yani bermaksud demikian, masa itu.


Penampilan Soeharto ke kekuasaan, nyatanya meminta penying­kiran sebagian besar kepemimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata. Pertama, melalui Gerakan 30 September dan sesudahnya melalui manuver lainnya. Para perwira dan prajurit juga mengalami pember­sihan politik yang besar-besaran dan banyak dari mereka terbunuh. penyingkiran ini bukan sekedar penyingkiran satu faksi oleh faksi lainnya, tapi meluas ke masyarakat umum yang digerakkan oleh berbagai latar belakang politik dan ideologi.


Dan yang ini adalah aspek lain dari penampilan kekuasaan Soeharto, yaitu melibatkan kekalahan politik dari kekuatan poli­tik terorganisir terbesar di negeri ini, yaitu PKI, Soekarnois Kiri, dan semua organisasi massa yang mereka pengaruhi. Penghancuran organisasi-organisasi ini merupakan penghancuran kekuatan terorganisasi dari kelas buruh dan tani.


Soeharto tampil ke kekuasaan bukan sebagai seorang jenderal yang mengkup pemerintahan sipil, tapi sebagai seorang pemimpin politik yang memimpin dan memenangkan pertarungan politik oleh sebuah sektor masyarakat secara kontra-revolusi dalam menghadapi sektor masyarakat lainnya. Ini juga melibatkan Soeharto bertarung mengambil kekuasaan atas militer sebagai alat negara. Ia memenangkan pertarungan itu dan kepemimpinan politik itu jatuh ke tangannya.


Lebih dari itu, kita kini tahu bahwa Soeharto semenjak dulu telah bekerja di luar negara, khususnya dalam periode Soekarno. Walau ia seorang perwira senior dikalangan Angkatan Bersenjata, ia mengembangkan komplotanya sendiri dengan basis keuangan sendiri. Itu ia kerjakan melalui perbankan KOSTRAD dan kegiatan dagang bersama-sama dengan sekutunya, para pedagang Cina. Ia juga menjalankan ia punya hubungan luar negeri sendiri, tidak hanya menghianati Soekarno, Kepala Negaranya, secara diam-diam, ia juga menghianati pimpinan Angkatan Bersenjata.


Dengan itu aku hendak mengatakan bahwa dengan cara demikian ia memenangkan penguasaan politik atas alat-alat negara. Ia mendapat dukungan dari lapisan-lapisan kekuatan politik anti-kiri, termasuk sebagian kecil mahasiswa militan. Dan memang benar, strategi anti-kirinya memerlukan penindasan militer. Ini memang tak dapat dihindari karena ada hegemoni dari berbagai bentuk ideologi kerakyatan yang kiri, masa itu.


Aku pikir Robinson tepat sekali ketika mengatakan bahwa "pengambilalihan kekuasaan” negara oleh tentara" melahirkan dua krisis: pertama, PKI telah dihancurkan, kedua, perkembangan kapitalis menemukan jalannya yang realistik melalui diundangnya kembali kapital internasional ke Indonesia. Hal yang tidak dipunyai Indonesia saat itu. Robinson terus menguntit hubungan 'negara' dengan sektor bisnis begitu mereka ini mejadi semakin membesar dan beragam pengelompokannya. Orang lain melihat proses itu dengan cara lain. Ia dianggap sebagai perubahan di dalam hubungan -hubungan antar kelompok bisnis yang yang berpangkalan di sekitar Soeharto, suatu kepemimpian politik kontra-revolusi, dengan berbagai kelompok baru yang lahir begitu ekonomi Indoensia berkembang dan menjadi semakin kompleks.


Robinson dngan sangat tepat pula mengidentifikasikan alisn­si-alisansi kelompok yang lahir di dalam pertarungan untuk mengu­bah kebijakan ekonomi, terutama menyangkut deregulasi. Di satu sisi ia mendaftar mereka yang menyetujui berlanjutnya campur tangan negara secara ketat atas ekonomi, khususnya dengan tujuan memajukan industri berat dan industri hulu. Mereka itu adalah:

  1. Para importir dan perantara barang kapital, yang memonopoli pesanan mereka yang biasanya datang dari proyek-proyek yang dibiayai negara; group Bimantara, grup Humpuss,Keluarga Soeharto.

  2. Kapital swasta dan negara di sektor hulu, lebih banyak pabrik kepunyaan domestik (Milik WNI) , yang membutuhkan proteksi (perlindungan) dari persaingan internasional.

  3. Para pembuat kebijakan ekonomi yang ada ikatan dengan basis industri yang luas.

  4. para birokrat (pejabat) sipil dan militer.


Di pihak lain:

  1. Kapital Internasional.

  2. Para produsen hilir domestik.

  3. Bank Dunia dan mereka yang terlibat sebagai para perencana ekonomi Indonesia.


Dalam meringkas bagian awal makalahnya, Robison mengatakan bahwa semakin bertambahnya kekuatan borjuasi dan semakin kompleks serta semakin bertambahnya fleksibilitas yang dipaksakan pada negara demi akomodasi ekonomi internasional, maka semakin besar pula kemungkin ia dapat menggeser kesederhanaan, dasar yang sempit dan pemerintahan yang otonom kearah yang lebih klompleks, lebih diatur, namun kurang bebas dalam hal pasar dan kurang bebas dari kekuatan-kekuatan sosial yang dominan.


Analisisnya mengenai konflik sekitar deregulasi ternyata mengungkapkan bahwa begitu borjuasi semakin kompleks dan beragam (mencerminkan kompleksitas perekonomian), mereka yang baru maupun yang sekarang telah semakin kuat pengelompokan ekonominya, tern­yata pada bertarung memperebutkan kekuasaan untuk mempengaruhi kelompok lainnya, terutama ketika kepentingan mereka bentrok dengan kepentingan yang lainnya. Analisa Robison mengupas kenya­taan bahwa para pejabat negara dapat dipecah dan dibelah-belah dalam memilih atau memberi sokongan kepada kelompok-kelompok. Ia menunjukkan betapa perbedaan itu menampakkan dirinya dikalangan ekonom dan birokrat.

Ini adalah pertarungan diantara berbagai macam faksi kapi­tal, termasuk faksi pemerintah, mengenai penggunaan kekuasaan negara. jadi ini bukan pertarungan antara pihak 'negara' dengan dunia bisnis. pertarungan ini adalah pertarungan untuk pembentukan satu tipe rezim baru.


Robison juga menunjukkan bahwa situasi yang dihadapi ekonomi Indonesia (dikurangi pendapatan pemerintah dari minyak dan pajak) telah memaksa pemerintah mengalah pada tuntutan banyak aspek deregulasi. Banyak monopoli dicairkan dan banyak bidang usaha yang selama ini tertutup untuk kapital asing, dibuka untuk inves­tasi. Perkembangan ini juga menekankan bahwa pada tingkat ini paling sedikit perselisihan dikalangan bisnis belum terlalu gawat sehingga dapat menimbukan keributan politik yang berarti. Banyak perselisihan itu sejauh ini dikendalikan oleh organisasi seperti KADIN dan atau perdebatan di koran-koran. Ini berarti adanya dinamika yang mendorong ke arah pembentukan sistim pemerintahan yang dapat lebih representatif dan sesuai dengan kepen­tingan seluruh kelas bisnis. Dengan kata lain, perbedaan ataupun perselisihan di antara berbagai faksi bisnis tidaklah sampai menciptakan konfrontasii hubungan yang antagonistik. Sementara itu kompomi dan perubahan demi perubahan berlangsung terus pada sumbu-sumbu kebijakan ekonomi membawa keadaan saling memperkuat diri dan saling membagii kekuasaan di antara faksi-faksi yang kuat. Pembagian seperti itu tidak dianggap sebagai destabilisasi.


Satu-satunya faktor destabilisasi di antara faksi yang dominan sekarang ini, adalah faksi Soeharto. Ketidaksukaan Soehar­to untuk mengalah pada kebutuhan untuk membuka sistim politik yang ada, paling tidak di tingkat teratas, telah diletakkan di belakang isu 'suksesi.' Untuk membina suatu pemerintahan yang berkelayakan dengan keadaan dan perkembangan, sebenarnya berada dalam kemampuan mayoritas kelas penguasa sekarang ini. Media massa-media massa yang besar, perusahaaan-perusahaan besar para kapitalis sendiri telah terus menerus mencanangkan kejatuhan yang tak terhindarkan dari rejim yang tak bersedia mengubah dirinya. Canang ini tentu sja tidak dikumandangkan secara terang terhadap Indonesia, tetapi mereka menggunakan kasus kudeta terhadap Jendral Alfredo Stroessner (Paraguay) dan kebangkitan gerakan "pro-demokarsi" di Cina sebagai percontohan. Jarang kita melihat adanya seruan terbuka, bahkan yang terselubung sekalipun, untuk menja­tuhkan Soeharto. Tuntutan mereka sebatas perubahan sistim politik pemerintahan.



Pembagian kekuasaan di antara semua faksi bisnis klas pen­guasa Indonesia tidak mesti diartikan sebagaii pembentukan suatu pemerintahan di mana mereka semua mereka diwakili. Ia dapat diartikan sebagai pengalihan lebih banyak kekuasaaan kepada parlemen, di mana semua faksi punya wakil mereka, dalam imbangan yang berbeda. Itu berarti memperkuat Golkar, sebuah partai yang pro-kapitalisme, di mana mereka semakin giat di dalamnya.


Aku pikir dinamika keadaan akan mendorong maju keadaan untuk punya sebuah pemerintahan yang lebih layak - bagi borjuasi dalam hal ini - seiring dengan himbauan pers-bagian terbesar dari kapital itu sendiri-, para teknokrat dan politisi muda, kebanyakan punya ikatan dengan dunia bisnis.


Parlemen, Pensipilan, dan Peranan Tentara Sebagai Alat.


Pertarungan untuk memindahkan lebih banyak kekuasaan kepada klas yang berkuasa secara keseluruhan dengan cara memperkuat lembaga-lembaga seperti parlemen, menampilkan persoalan hubungan antara klas yang berkuasa secara keseluruhan dengan alat negara. Selama periode kontra-revolusi, yang diperlukan adalah sebuah pimpinan yang sentral. Soeharto kemudian membutuhkan masa konsol­idasi hingga ia menjadi kaptalis terbesar bersama sekutunya para kapitalis non-pribumi dan partner asing lainnya, tentara berada di bawah komando langsung dari Soeharto disertai beberapa pemban­tunya.


Kepemimpina politik Soeharto terbentuk hampir-hampir tidak dipersoalkan oleh klas penguasa itu sendiri. Himbauan untuk memperkuat parlemen, keterbukaan dan pendemokrasian Golkar, hanya berdampak seruan untuk menegakkan kepemimpinan yang lebih kolektif. Jika tentara tidak terlibat dalam politik, khususnya di tingkat lokal, masalah di atas tidak akan menimbulkan persoalan besar. Tetapi Indonesia sudah terbiasa dengan tentara yang terli­bat politik.


Apakah peranan tentara itu nantinya di dalam suatu kepemimpinan kolektif? Aku pikir, hjmbauan untuk memperkuat parlemen dan suatu keterbukaan yang lebih lapang, akan mendapat sambutan lapisan menengah perwira Angkatan Bersenjata yang jalan pikirannya dipengaruhi oleh perkembangan keadaan.


Perkembangan ini juga akan mengungkapkan bahwa komponen militer dari alat negara tidak pernah benar-benar merupakan 'negara' itu sendiri. Selama periode kekuasaan yang sepertinya tak pernah dipersoalkan, yaitu periode kepemimpinan kontra-revolusi dan kekerasan massa digunakan untuk mematahkan gerakan klas buruh dan kaum tani, rejim akan memperlihatkan dirinya sebagai rejim militer. Ini tercermin pada bentuk dan cara pemerintahan, rejim akan memperlihatkan dirinyan sebagai rejim militer., yang sekan tidak mewakili watak negara yang membawa kepentingan dan peranan klas. Ketika kontra-revolusi sudah meninggalkan momentumnya dan rejim mulai mengambil sejumlah aspek pemerintahan sipil dan lalu menghimbau agar memulai demokratisasi dan keterbukaan posisi tentara sebagai pusat negara ternyata merupaka gundukan yang penuh ilusi. Sebagai akibatnya, suatu proses mempertanyakan diri sendiri mulai timbul di kalangan perwira, begitu mereka melihat peranannya sebagai aparatur.


Tapi ada sisi lain dari keadaan ini. Sebagaimana telah aku ungkapkan sebelumnya, sementara kekuasaan Soeharto yang pada mulanya berasal dari kedudukannya sebagai pimpinan tentara yang resmi pada periode awal Orde Baru, lama kelamaan, ia terbiasa menggunakan bentuk-bentuk sipil untuk pengesahan kegiatan dan kedudukannya seperti pemilihan umum dan sebagainya. Pada hakekatnya ini mencerminkan perubahan ke arah pensipilan pemerinta­han. Begitu pewira seangkatannya pada pensiun dan keluar dari Angkatan Bersenjata, mereka pindah ke dunia bisnis, pemerintahan, dan politik. Kini hubungan langsungnya dengan Angkatan Bersenjata bertolak dari kedudukannya sebagai Presiden. Dan sebagai Presi­den, kekuasaannya disahkan melalui cara-cara dan mekanisme sipil. Sementara itu, kepemimpinan politik dan lapisan teratas pemerin­tahan disipilkan. Tidak ada perwira militer aktif di kabinet, kecuali Beni dan Try Soetrisno. Semua tokoh kunci kabinet adalah orang-orang yang telah lama meninggalkan ketentaraannya, atau politisi muda, bukan tentara atau pejabat biro administrasi pemerintahan. Dan jika ada mereka yang demikian ia harus mengubah dirinya menjadi politisi.


Menurut pandanganku, pemerintahan Soeharto sekarang ini adalah pemerintahan sipil. Ia dipimpin dan kebanyakan terdiri dari orang-sipil. Maka itu, pemerintahan ini dalam hubungannya dengan mayoritas penduduk tetap bersandar pada tentara demi efektifnya penguasaan politik. Itu lah sebabnya, mengapa sayap intelejen di lingkungan militer dibentuk dan dibina oleh Jendral Beni Moerdani dan Yoga Soegama, dan ini teteap merupakan basis istimewa dari faksi politik ini.


Tentara lah yang paling banyak digunakan untuk pengendalian politik, baik dalam hubungan keresahan industrial beserta kaum buruhnya atau sehubungan dengan kaum tani. Tentara lah yang melakukan pengawasan, sensor dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sejenis. Dalam hal ini, tentara telah menjadi alat dari kekuatan-kekuatan non-tentara. Mereka dipakai untuk kepentingan-kepentingan non-tentara. (Lagipula, dalam dekade 1990-an apa yang jadi kepentingan mereka?). Begini lah pengalaman kebanyakan buruh pabrik, pemukim liar dn petani. Pengalaman mereka mengatakan bahwa tentara telah semakin menjadi kaki tangan para pemilik pabrik, perkebunan, real estate, bank atau dam-dam yang dibiayai konsorsium internasional. Dan rakyat lah yang mengalami bagaimana tentaranya memerankan represi dan penindasan.


Akibat apa saja yang ditimbulkan oleh diperkuatnya parlemen dan didemokratisaskaninya Golkar dalam hall sikap para aparat negara terhadap massa dan penduduk? Sejauh ini belum ada himbauan apa pun dari parlemen dan Golkar sehubungan dengan sikap aparat negara terhadap massa dan penduduk? Juga tidak dari kalangan pers dan media massa. Himbauan dan seruan itu bukanlah ditujukan terhadap 'negara' supaya lebih terbuka terhadap 'masyara­kat,' sebagaimana komentar sementara orang. Himbauan dan seruan itu baru bertaraf supaya kekuasaan negara dikelola secara lebih kolektif mewakili semua sayap klas kapitalis.


Pertarungan politik yang baru saja dimulai itu menyangkut penyesuaian pemerintahan pada perkembangan klas kapitalis. Ini memang akan membangkitkan pertarungan yang lain, yaitu komposisi pemerintahan. Tetapi pertarungan ini tidak akan ada [pengaruhnya pada sifat negara. Kekuasaan negara, jika dibutuhkan akan tetap berdasarkan kekuatan militer guna melindungi semua syarat agar ekonomi dapat leluasa menguras tenaga kerja buruh dan sumber daya dalam negeri semaksimal mungkin. Jadi, kekuasaan negara akan tetap dimonopoli klas yang berpunya. Komposisinya mungkin lebih bervariasi, meminta ke bentuk-bentuk ke pemrintahan yang lebih kompleks. Namun watak negara, yaitu kepentingan klas borjuasi yang ia wakili dan peranannya terhadap masyarakat selebihnya, yakni klas yang lainnya, tidak lah memerlukan perubahan.


Alasan yang aku kemukakan, sejauh ini tidak lah berarti bahwa proses pemekaran komposisi klas penguasa dan pertarungan pembagian kekuasaan secara baru tidak akan dapat membuka kesempa­tan untuk memajukan perjuangan demokrasi. Sementara watak negara tidak akan berubah, khususnya kepen­tingan dan peranan klas berkuasa yang dibelanya, namun efektifitasnya mungkin saja berubah, yaitu menguat atau melemah.


Dalam kasus Indonesia, perjuangan untuk menegakkan pemerin­tahan borjuis baru saja dimulai. Perjuangan itu menjadi pelik karena telah hadirnya suatu tentara profesional yang berpolitik. Peranan tentara itu sendiri di dalam proses mendatang juga mengalami kesulitan oleh perbedaan tujuan di kalangan mereka sendiri. Pada satu tingkat tertentu, terdapat konflik yang berakar pada ambisi dan permusuhan pribadi (Moerdani versus Soeharto dan tampilnya Try Soetrisno) akan memperdalam persoalan mengenai peranan tentara di masa mendatang.


Ada lagi faktor lain yang tak teramalkan. Pada saat ini, perbedaan di antara berbagai kelompok ekonomi tidak lah sebesar jika persoalan sudah mengarah pada komposisi kabinet. Tapi kea­daan internasional yang memburuk dapat mengubahnya. Pertarungan untuk deregulasi lanjutan mungkn menjadi mendesak dan dapat berkembang menjadi pertarungan berebut kekuasaan pemerintahan itu sendiri. Sementara beberapa kelompok mungkin memerlukan keterbukaan sehubungan dengan diperlukannya dukungan rakyat. Memang belum ada tanda-tanda untuk yang begini ini sekarang.


Pendalaman Proses: Penguapan Kontra-revolusi


Salah satu dalil pokok - yang telah aku kemukakan sebelumnya - adalah, klik Soeharto tampil ke kekuasaan bukan sebagai perwira tinggi lembaga Angkatan Bersenjata, tapi sebagai pimpinan dari suatu kontra-revolusi - faktanya, serangan kontra-revolusi yang preemptif. Padahal kedudukan resminya adalah panglima dan kemudian presiden. Maka itu, asal muasal kekuasaannya datang dari PELAKSA­NAAN KONTRA-REVOLUSI YANG BERHASIL.


Kontra-revolusi itu, secara intensif hanya berlangsung selama beberapa tahun. tetapi proses konsolidasinya tidak menentu. Pokoknya sampai ekonomi dan tatanan politik baru dapat distabilkan di tempatnya masing-masing. Makanan pokok politik kontra-revolusi adalah sejenis pembungkaman dan depolitisasi rakyat dengan klas-klasnya. Hanya kaum kontra-revolusi yang boleh makan politik dan ideologi. Lainnya tidak boleh.


Masa konsolidasi itu baru saja memasuki tahap akhirnya sesudah panen minyak dalam pertengahan dekade 70-an. Pada masa ini lah, Soeharto beralih ke Bapak Pembangunan, mulai menegakkan kredensialnya sebagai seorang ekonom, disamping dewa penyelamat politik negeri seribu pulau. Tapi tahun-tahun ini juga terjadi perubahan dalam cara menguasai dan mengendalikan massa rakyat. Dalam peri­ode ini, pekerjaan bergeser dan/atau juga bertambah. Dari pem­bungkaman total ke pengendalian keresahan sosial.


Sesudah 10 tahun Indonesia tanpa serikat buruh, pada akhir dekade 70-an, pemerintah yang bijaksana itu mulai mempromosikan serikat buruh yang ia kendalikan sendiri. Laksamana Soedomo, seorang perwira tinggi Angkatan Laut, diangkat menjadi menteri tenaga kerja. Organisasi non-pemerintah dan gerakan koperasi mulai diperkenankan bernafas dan di sana sini bahkan dibantu. Tapi dalam waktu bersamaan, negeri ini dipasangi undang-undang yang memberi kekuasaan lebih luas kepada pemerintah untuk mengon­trol organisasi non-pemerintah itu. Kekuasaan itu belum sempat dipamerkan. Beberapa ribu tahanan politik dibebaskan dari pen­jara-penjara, namun tetap diawasi.


Pergeseran ataupun penambahan kerjaan dari pembungkaman ke pengendalian sangat tampak di bidang perindustrian. Kontra-revolusi telah mematahkan kepemimpinan-kiri-atas klas pekerja. Tapi klas pekerja tidak dapat dibiarkan tanpa 'pimpinan' sebagai­mana terjadi pada akhir dekade 70-an ketika kaum buruh mulai bangkit secara terpencar, namun sering juga dengan bentuk-bentuk perjuan­gan yang militan.


Baru saja lembaga yang dibebani tugas-tugas kontr-revolusi, KOPKAMTIB diubah menjadi badan 'pengendalian politik.'Tapi penguapan dinamika kontra-revolusi tidak hanya tercer­min dalam beberapa kebijakan pemerintah. Ia juga tercermin dalam penguapan dalam sejumlah senjata ideologi kontra-revolusi. Aspek ini sangat dipertahankan oleh pemerintah Soeharto beserta kelom­pok-kelompok yang bergelimang dengan kemenangan kontra-revolusi.


Fenomena terpenting adalah melemahnya dampak ketabuan terha­dap ideologi kiri dan kiri pra-65. Proses ini telah terbantu kemudian dengan tampilnya kembali ke permukaan umum tokoh-tokoh pra-65, seperti Pramoedya Ananta Toer.Tapi ia berakar pada peru­bahan yang memang sudah umum. Perubahan demografik berarti ber­tambah banyak yang tak kenal dan tidak mengalami kontra-revolusi dan yang terjadi sesudahnya. Pada akhirnya, ia menyebabkan pada kemenangan kontra-revolusi itu sendiri. Pada banyak orang telah tdak ada atau tidak pernah ada ketakutan kepada apa yang revolu­sioner itu.


Manifestasi atau gejala perubahan itu antara lain tampak pada, untuk menyebut beberapa saja :1) kerja sama Tapol dengan non-Tapol lebih meluasan baik-baik saja; 2) Editorial surat kabar MERDEKA yang meniadakan PKI dalam membahas G 30 S; 3) bangkitnya kembali perhatian orang kepada gerakan Kiri Indonesia dan dunia internasional, termasuk di dalamnya perhatian terhadap DN Aidit dan Tan Malaka, terutama di kalangan muda dan mahasiswa; 4) dukungan tokoh-tokoh non-komunis pada mahasiswa dan gerakannya yang diadili, denghan keterlibatan dalam menjual dan memiliki buku pengarang sejenis Pramoedya Ananta Toer.


Aku tidak mengatakan telah terjadi kebangkitan kembali gerakan kiri Indonesia. Tapi yang pasti ada istilah penguapan tabu-tabu terpenting dari komplotan kontra-revolusi. Penguapan itu menciptakan 'kehampaan ideologi.' Tabu terhadap segala yang Kiri adalah pengetahuan politik Kiri. 'Depolitisasi' adalah salah satu satu senjata pamungkas kontra pada awal-awalnya Orde Baru. Ketika itu, banyak desa memampangkan papan pemberitahuan di jalan masuk desanya yang berbunyi: 'Desa ini telah didepolitisasi.'Politik berarti kotak pandora yang dibuat PKI. Karena sekarang semakin banyak saja orang yang kepingin tahu dan tidak takut membuka kotak pandora itu, maka orang mulai sesuka hati membukai segala Kotak Pandora itu.


Kecenderungan ini juga diperkuat oleh pertumbuhan klas-klas kapitalis dengan politikus mereka yang bicara mengenai kepentingan mereka dan ini mendorong keterbukaan. Seruan keterbu­kaan dalam bentuknya yang sekarang sebenarnya dapat terjadi, karena sebenarnya ia tidak lagi dibutuhkan oleh kontra-revolusi yang sudah kelewat ranum. WIbawa kepemimpinan Soeharto akan berangsur kehilangan bobotnya manakala ia ngotot, saya menyangkal adanya kebutuhan baru dari klas penguasa yang ia pimpin.


Tapi erosi tabu lama juga disangka oleh segi lain dari kenyataan telah munculnya sebuah klas kapitalis yang lebih ruwet, namun demikian klas kapitalis ini masih kecil dalam jumlah dan berdiri di puncak piramida pertanian yang maha luas. Kini juga terdapat juga klas pekerja yang lebih maju, kompleks dan modern, termasuk di dalamnya suatu 'klas menengah' yang terdidik dan berdisiplin sebagai tenaga kerja. Karena konflik industrial telah menarik sejumlah penggerak dan kelompok politik, yang terjadi mungkin telah disemaikan bibit bagi tumbuhnya suatu politik klas pekerja yang baru dan radikal.


Demikian lah kita sudah melihat suatu konjungtur perkemban­gan politik Indonesia. Sesuatu yang baru mungkin akan lahir darinya. Tepatnya apa kita tidak tahu.


Dua proses yang berkaitan telah timbul:

  1. Pertarungan untuk penyesuaian hubungan-hubungan di kalangan klas kapitalis (baru dan kompleks) dan pemanfaatan kekuasaan negara. Pertarungan ini bersifat pasca-kontra-revolusioner dari klas penguasa yang sekar­ang ini; dan

  2. Pengakhiran dari dominasi ideologi kontra-revolu­si, di samping cepatnya pemekaran wawasan politik karena ketakpuasan semua terhadap status quo, bahkan menerima perubahan dan kemajuan.


Jika saja proses ini berlanjut, maka mungkin akan kita lihat suatu periode, kala berbagai tradisi yang telah memainkan peranan begitu besar bagi sejarah Indonesia, kembali ke tengah panggungn­ya sendiri. Sejarah aneka kekuatan politik, sosial, agama, dan Å tangguh perkembangannya. Jika ini yang terjadi pada akhirnya, maka ia adalah hasil penjabaran proses dan kontradiksi yang berbasiskan klas.



Cokro

Awal 1991




Tidak ada komentar:

Posting Komentar